Kamis, 14 Juli 2011

Pendidikan


YANG PERLU DIKETAHUI SOAL PENDIDIKAN DI INGGRIS


Inggris merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan untuk melanjutkan studi. Baik bagi para pemburu beasiswa, maupun yang studi dengan biaya sendiri. Nah, sebelum memutuskan akan bersekolah di mana, ada baiknya mengetahui bagaimana institusi pendidikan di Inggris. Panduan yang dibuat Hotcourses ini, bisa membantu untuk mengenali institusi pendidikan di Inggris. Simak, yuk!
Di Inggris, terdapat lebih dari 170 institusi pendidikan dan lebih dari 500 lembaga pendidikan lanjutan yang menawarkan berbagai pilihan program kuliah dan mata kuliah yang mungkin tak ditemukan di institusi pendidikan di negara lainnya. Standar mutu juga telah ditetapkan untuk menjamin diperolehnya derajat pendidikan tertentu. Contohnya, semua universitas dan kolese di Inggris yang memberikan gelar, sebelumnya harus sudah mendapatkan wewenang khusus untuk memberikan gelar oleh Pemerintah Inggris Raya. Program kuliah dan institusi juga dipantau dan dievaluasi secara teratur.
Sebagai informasi, secara garis besar, institusi-institusi pendidikan terbagi menjadi kolese pendidikan tinggi, universitas, dan institusi pendidikan lanjutan. Mari kita kenali satu per satu!
Kolese pendidikan tinggi
Kolese di Inggris Raya memberikan rentang tingkatan kualifikasi yang cukup beragam, cenderung lebih santai dibandingkan universitas. Kolese lebih menekankan pada pembelajaran di kelas dan praktik lapangan. Kebanyakan kolese pendidikan tinggi tidak berhak untuk memberikan gelar atas nama mereka sendiri. Oleh karena itu, lazimnya mereka bekerja sama dengan sebuah universitas yang berhak untuk memberikan gelar. Kolese biasanya menawarkan pendidikan yang mencakup berbagai jenjang, dari kualifikasi kejuruan, A-level (kualifikasi tingkat sekolah di Inggris Raya), program kuliah akses dan dasar untuk memasuki jenjang universitas serta beberapa kualifikasi gelar penuh lainnya.
Universitas
Universitas memberikan kualifikasi tingkat sarjana (BA, BSc dan BEng) dan pascasarjana (MA, MBA, dan PhD) yang terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
• Universitas Kampus
Universitas Kampus menyediakan semua yang dibutuhkan dalam satu tempat. Biasanya merupakan universitas baru, berdasarkan sebuah kampus yang dibangun sesuai tujuan, pada umumnya di pinggiran kota, walau ada pula yang di tengah kota. Pembangunan gedung ini mencakup ruang jurusan universitas, balai kuliah, perpustakaan, fasilitas olahraga dan belanja. Ada kemungkinan terdapat pula pilihan fasilitas akomodasi. Tujuannya adalah menyajikan komunitas pendidikan dan fasilitas pembelajaran dalam satu kampus.
• Universitas non-kampus
Apabila Anda ingin lebih membaur dengan komunitas penduduk setempat, universitas non-kampus merupakan pilihan yang paling tepat. Biasanya banyak dijumpai di kota besar dengan bangunan yang menyebar di satu area. Mereka cenderung universitas lebih tua yang telah secara alami bertumbuh-kembang selama bertahun-tahun dan memiliki jurusan di lokasi yang berbeda. Mayoritas dari universitas jenis ini memiliki asrama, meskipun Anda harus berpindah-pindah antara lokasi berkuliah.
• Universitas Terpadu
Beberapa universitas di Inggris Raya, khususnya yang tertua seperti Cambridge, Oxford dan York, sebenarnya terbentuk dari beberapa kolese kecil. Walaupun Anda terdaftar sebagai salah satu mahasiswa dari universitas, tiap kolese berperan sebagai kampus kecil. Kolese Anda akan menyediakan akomodasi, fasilitas, kehidupan sosial dan hiburan, meskipun Anda akan belajar bersama para mahasiswa dari kolese lain, dan bebas untuk menggunakan fasilitas yang lain itu.
Kolese pendidikan lanjutan
Banyak mahasiswa yang memilih kolese pendidikan lanjutan (FE). Sekolah ini termasuk city college, kolese teknologi, dan kolese daerah, yang nama-namanya bervariasi. Anda dapat ikut serta dalam berbagai macam program studi dan kualifikasi di FE, dan memungkinkan Anda untuk berhubungan dengan industri lokal.
Sejumlah besar kolese kini menarik perhatian para mahasiswa dari luar negeri dengan memberikan program kuliah dasar satu tahun dan program pra pascasarjana dengan tujuan mereka mempersiapkan diri untuk pendidikan gelar sarjana dan pascasarjana.
Work-based study (pendidikan sesuai bidang kerja)
Jika Anda sudah terpikir mengenai jenis pekerjaan tertentu seperti arsitektur, hukum atau dokter gigi, Anda dapat mendaftar di sekolah profesi atau kolese di Inggris Raya sambil bekerja sebagai staf junior di salah satu perusahaan. Program kuliah semacam ini tidak dikelola oleh institusi pendidikan formal, namun diakreditasi oleh organisasi profesional seperti Chartered Institute of Marketing atau the Association of Chartered Certified Accountants.
Kalender akademik
Tahun ajaran baru biasanya dimulai pada bulan September dan berakhir pada bulan Mei. Sering kali dibagi menjadi dua periode atau semester. Periode pertama berlangsung sampai Desember, sebelum libur di akhir tahun. Semester kedua dimulai pada bulan Januari hingga Mei.
Kursus Bahasa Inggris
Dalam satu kurun waktu tertentu, terdapat sekitar 600.000 mahasiswa dari seluruh dunia belajar bahasa Inggris di Inggris Raya. Kursus itu meliputi persiapan ujian seperti IELTS, TOEFL, Ujian Cambridge dan GMAT. Kursus bahasa Inggris lainnya bertujuan untuk mempersiapkan Anda memasuki jenjang universitas atau untuk bisnis dan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.

Kursus dapat dalam bentuk bahasa Inggris umum dan intensif bagi pemula ke atas, hingga kursus yang secara khusus ditujukan untuk pendidikan lanjutan, seperti English for Academic Purposes (EAP), atau kursus bahasa Inggris khusus untuk memasuki jenjang universitas. Masing-masing memiliki perbedaan waktu penyelenggaraan, bergantung pada tempat pendidikan yang Anda pilih. Setiap institusi juga memiliki persyaratan khusus pendaftaran dan tenggat waktu. Silakan hubungi institusi yang Anda pilih untuk mendapatkan informasi secara lebih lengkap.
Sumber : www.kompas.com

Rabu, 06 Juli 2011

Info Pendidikan

Beasiswa Lambat, Siswa Berprestasi “Menjerit”

Para pelajar yang berhasil menorehkan prestasi di kancah olimpiade internasional seyogianya berhak mendapatkan beasiswa unggulan sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Pemerintah Indonesia. Nyatanya, pelajar-pelajar berprestasi itu mengeluhkan lambannya proses pencairan beasiswa unggulan tersebut.

Lambannya pencairan beasiswa membuat para siswa berprestasi khawatir dan bingung saat hendak melanjutkan kuliah di luar negeri. Pasalnya, mereka kerap terbentur dengan situasi yang berbeda, antara menunggu pencairan beasiswa yang selalu telat atau mengikatkan diri pada suatu kontrak studi dengan universitas di luar negeri.

"Beasiswa yang dijanjikan pemerintah keluarnya selalu terlambat. Saya mendengar itu dari teman-teman yang lebih dulu mendapatkan beasiswa di luar negeri. Beasiswa kita kalah cepat cairnya dari kontrak yang ditawarkan oleh universitas di luar negeri," kata peraih medali perunggu di Olimpiade Kimia 2009, Stephen Haniel Yuwono, Selasa (5/7/2011) malam, di Jakarta.

Siswa yang tahun ini lulus dari SMAN 1 Purwokerto itu menceritakan alasannya mengikat kontrak dengan National University of Singapore (NUS). Menurut dia, universitas di Singapura lebih proaktif mengundang siswa-siswa berprestasi untuk melanjutkan kuliah di Singapura melalui surat yang dikirim ke sekolah. Umumnya, para siswa berprestasi yang mengikat kontrak dengan universitas di luar negeri tidak berminat menunggu beasiswa dari Pemerintah Indonesia yang baru cair setelah semester pertama selesai, atau baru bisa melanjutkan kuliah pada tahun berikutnya.

"Beasiswa di Singapura memang kalah besar dari beasiswa yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia. Dari Singapura saya dapat uang saku 5.000 dollar Singapura untuk biaya hidup selama satu tahun, padahal estimasinya saya perlu 10.000 dollar Singapura untuk satu tahun. Saya harus nombok (menutupi). Namun, tak masalah karena semua sudah diurus. Kami tidak dibebankan dengan biaya kuliah dan diberi uang saku untuk biaya hidup," tuturnya.

Sejatinya, Stephen dan pelajar Indonesia yang lainnya tidak ingin terikat kontrak dengan universitas mana pun di luar negeri. Mereka sedih dan kecewa jika dicap berkhianat karena terlibat dalam kontrak tersebut.

"Kami kecewa karena dianggap mengkhianati bangsa. Kuliah di luar negeri tidak mau pulang karena terikat kontrak beasiswa yang mengharuskan kami tinggal di luar negeri untuk beberapa waktu tertentu. Jangan salahkan kami kalau harus tidak kembali karena ada ikatan itu," ujarnya.

Sementara itu, Anugerah Erlaut, pelajar Indonesia lainnya yang telah lebih dulu melanjutkan studi di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, melalui beasiswa unggulan yang diberikan Pemerintah Indonesia, mengungkapkan hal senada. Mantan peraih medali emas di Olimpiade Biologi 2008 ini mengatakan, proses pencairan beasiswa unggulan dari Pemerintah Indonesia terlalu lama dan sangat terlambat. Beasiswa unggulan baru cair dua sampai tiga bulan setelah batas akhir pembayaran kuliah. Keterlambatan pencairan itulah yang membuat dirinya beberapa kali terpaksa meminjam uang dari bank di Singapura.

"Misalnya batas akhir bayar kuliah bulan September, tetapi beasiswa paling cepat baru bisa dicairkan pada Oktober. Malah ada teman-teman saya yang juga peraih medali olimpiade, tetapi belum mendapatkan beasiswa. Teman lainnya yang juga mantan peraih medali kimia hanya mendapatkan setengah dari beasiswa penuh yang dijanjikan," katanya.

Sumber : www.kompas.com

Sabtu, 02 Juli 2011

Pendidikan

Sumbangan Pendidikan
Lulus SNMPTN, Kok, Bayarnya Mahal Juga?




Kabar gembira lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan berhasil menduduki salah satu kursi di universitas bergengsi berubah menjadi sebuah keterkejutan. Setidaknya, hal itu dirasakan Benny, orangtua calon mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Putrinya diterima di Fakultas Ekonomi UGM setelah bertarung dengan puluhan ribu pendaftar. Namun, saat hendak melakukan pendaftaran ulang secara online, dikejutkan dengan salah satu tahapan, yaitu membayar Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang jumlahnya terbilang besar, Rp 40 juta!
Benny mengatakan, pemahamannya sebagai orangtua dan anaknya, berpeluh dalam seleksi SNMPTN akan meringankan dari sisi biaya. Penarikan jumlah sumbangan yang besar bisa dimaklumi jika calon mahasiswa memilih masuk universitas negeri melalui jalur khusus, bukan SNMPTN yang notabene persaingannya sangat ketat. Jumlah penarikan SPMA itu disesuaikan dengan penghasilan orangtua, seperti yang tertuang dalam formulir yang diisi saat mendaftarkan SNMPTN.
"Tetapi tidak ada penjelasan bahwa penghasilan ini menjadi tolok ukur besar sumbangan. Dan kami, orangtua juga tidak tahu kalau jalur SNMPTN juga ada tarikan sumbangan sebesar ini. Begitu lulus (SNMPTN), kok harus bayar gede banget. Setahu saya, SNMPTN standar semua sama," ujar Benny, kepada Kompas.com, Jumat (1/7/2011).
Menurut Benny, hal yang sama juga disampaikan orangtua teman anaknya. "Teman anak saya lulus di Fakultas Hukum UGM, harus bayar 30 juta (rupiah). Kami bingung, SNMPTN, kok, begini, sih? Yang selama ini kita tahu, yang namanya SNMPTN semahal-mahalnya 5 juta, kemudian bayar uang pendaftaran, SKS. Itu makanya semua orang ngejar dan berjuang ke SNMPTN. Kalau melalui jalur ujian masuk mandiri, mahal kita maklum. Tetapi, ini SNMPTN," paparnya.
Apalagi, lanjut Benny, calon mahasiswa hanya diberikan waktu hingga 8 Juli 2011 untuk melunasi sumbangan tersebut. Meskipun besaran sumbangan disesuaikan dengan penghasilan orangtua, jumlah itu tetap dirasa berat untuk dibayarkan dengan batas waktu yang sangat singkat.
"Kami merasa dijebak. Bagaimana dengan orang yang tidak mampu (secara ekonomi) dan benar-benar mengandalkan kemampuannya berkompetisi di jalur SNMPTN yang imejnya dari dulu murah," kata Benny.
Berdasarkan informasi yang dimuat dalam laman situs www.um.ugm.ac.id, besaran biaya pendidikan yang harus dibayarkan calon mahasiswa UGM sebagai berikut:
1. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP): Rp. 500.000,00/semester
2. Biaya Operasional Pendidikan (BOP):
* Program studi kelompok eksakta dan ilmu kesehatan: Rp. 75.000,00/SKS/semester
* Program studi kelompok non-eksakta: Rp 60.000,00/SKS/semester
3. Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA): SPMA merupakan sumbangan wajib dan dibayarkan satu kali pada waktu mahasiswa masuk. Besaran SPMA disesuaikan dengan kebutuhan fakultas/program studi masing-masing dan ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi orangtua mahasiswa, yaitu:
1. SPMA 0 (beasiswa Bidik Misi, beasiswa PBUTM, beasiswa SPMA Rp 0,-) untuk mahasiswa yang orangtuanya (bapak dan ibu) memiliki pendapatan ≤ Rp. 1.000.000,00
2. SPMA 1 untuk mahasiswa yang orangtuanya (bapak dan ibu) memiliki pendapatan antara Rp 1.000.001,00 hingga Rp 2.500.000,00
3. SPMA 2 untuk mahasiswa yang orangtuanya (bapak dan ibu) memiliki pendapatan antara Rp 2.500.000,00 hingga Rp 5.000.000,00
4. SPMA 3 untuk mahasiswa yang orangtuanya (bapak dan ibu) memiliki pendapatan antara Rp 5.000.001,00 hingga Rp 7.500.000,00.
5. SPMA 4 (PBS) untuk mahasiswa yang orangtuanya (bapak dan ibu) memiliki pendapatan ≥ Rp. 7.500.000,00
Besaran jumlah SPMA tergantung pada penghasilan orangtua, yang setiap fakultas dan jurusan besarannya berbeda. Untuk Fakultas Ekonomi jurusan Ilmu Ekonomi, misalnya, sumbangan terendah Rp 10 juta dan tertinggi Rp 40 juta. Sementara, di Fakultas Kedokteran, untuk Pendidikan Dokter, sumbangan terendah Rp 10 juta dan tertinggi hingga Rp 100 juta.

Sumber : www.kompas.com

Rabu, 20 Oktober 2010

Info Pariwisata

Pariwisata Indonesia Jauh Ketinggalan

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sampai saat ini belum melakukan ekspose (evaluasi) sejauh mana pencapaian kinerja setahun belakangan. Akan tetapi, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, hampir setiap kesempatan mengemukakan keberhasilan dan kemajuan pariwisata Indonesia. Mulai dari kepercayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat kembali Jero Wacik sebagai Menteri Kebudayaaan dan Pariwisata, tercapainya terget kunjungan wisatawan mancanegara, sampai tumbuhnya hotel-hotel baru di sejumlah daerah.

"Kalau dikatakan Pemerintah gagal, berarti menteri gagal, direktur jenderalnya juga gagal. Saya tegaskan, Pemerintah tidak gagal," kata Jero Wacik, pada peluncuran Visit Banda Aceh Year 2011, Selasa (19/10/2010) di Jakarta.

Sebelumnya, saat menerima finalis Puteri Pariwisata Indonesia 2010, Menbudpar itu mengatakan, "Di bidang pariwisata, saya optimistis target 7 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tercapai. Karena hampir setiap bulan, dibanding bulan yang sama tahun lalu, terjadi peningkatan jumlah kunjungan lebih kurang 7 persen".

Jero Wacik mungkin benar, dengan indikator yang dikemukakannya. Namun, kalangan pakar dan akademisi, serta pelaku wisata menilai pariwisata Indonesia belum ada apa-apanya. Dibandingkan dengan kemajuan industri pariwisata negara tetangga, Indonesia jauh ketinggalan.

Menurut Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang juga pakar pariwisata, Prof Dr Wiendu Nuryantie, ada tiga parameter penting untuk mengukur kinerja pariwisata, yaitu jumlah kunjungan wisman dan wisnus, lama tinggal, dan jumlah pembelanjaan wisatawan. "Jika dua dari tiga parameter itu menunjukkan kenaikan, itu keberhasilan dari upaya marketing. Namun, rendahnya pembelanjaan wisman, menandakan rendahnya kualitas destinasi," tandasnya.

Wakil Ketua Umum Asita Pusat, Asnawi Bahar meragukan keberhasilan dari pencapaian target kunjungan wisman tahun 2009 yang 6,4 juta wisman. "Angka sebanyak itu dari mana? Coba hitung seat pesawat terbang dari dan ke luar negeri, tak sampai sebanyak itu satu tahun. Lalu, data di imigrasi kan tidak pernah ada mana yang betul-betul turis mancanegara, pekerja, dan mana yang tidak. Mungkin saja orang Indonesia pulang wisata dari luar negeri dikatakan sebagai turis mancanegara masuk ke Indonesia," katanya.

Lektor Kepala dalam Bidang Ekoturisme di IPB, Dr Ir Ricky Avenzora MSc, mengatakan statistik turis sebesar 6 jutaan orang tersebut tidak bisa diterima, sejalan dengan buruknya dinamika administrasi pemerintahan dan karena adanya dinamika penipuan tujuan perjalanan mereka ke Indonesia.

"Sangat banyak pekerja gelap asing di Indonesia yang masuk ke Indonesia dengan visa turis (yang secara sembrono memang telah dimudahkan oleh peraturan Indonesia). Buruknya sistem administrasi menjadikan statistik turis amburadul, sulit kita percaya," ujarnya.

Jika mau jujur, atas adanya dinamika penipuan tujuan kedatangan dan dinamika double counting dalam pengadministrasian angka statistik, maka angka tersebut kiranya patut dikoreksi sebesar 20 persen.

Tentang target 7 juta kedatangan wisman tahun 2010, menurut Ricky, karena adanya kekerdilan mental birokrat yang takut kehilangan jabatan, jumlah target tak mampu dilipatgandakan.

Wiendu mengungkapkan, Malaysia tahun 2009 bisa mendatangkan wisatawan mancanegara 22 juta, Singapura 10,5 juta, dan Thailand 14 juta. Sementara Indonesia cuma 6,4 juta (dan data itu masih diragukan).

"Kita selalu mengatakan Indonesia sangat kaya dengan potensi pariwisata, tapi dibanding kunjungan wisman di negara tetangga (pesaing), potensi Indonesia itu belum ada apa-apanya. Kita belum mampu mengolah potensi itu menjadi sebuah destinasi. Artinya, keterpaduan akses, atraksi, sarana-prasarana, fasilitas pendukung, akomodasi, sumberdaya manusia dan citra atau image, belum optimal," papar Wiendu Nuryantie, ketua panitia World Conference on Culture, Education and Science (Wisdom) 2010, yang akan berlangsung di Yogyakarta, 8-11 November mendatang.

Menurut Asnawi Bahar, destinasi kita terkendala infrastruktur. Untuk mencapai suatu tujuan wisata, akses ke sana lebih dari tiga jam. Di luar negeri, idealnya jarak tempuh 2 jam. Kemudian promosi, masih jauh dari harapan. Promosi yang dilakukan Indonesia tidak berkelanjutan dan tidak jangka panjang.

"Malaysia mampu gaet banyak wisman dari Timur Tengah. Di Mekkah banyak baliho besar promosi pariwisata Indonesia, sedang Indonesia tidak berpromosi di Timur Tengah. Padahal, sebagai negara Islam terbesar, Indonesia bisa menarik lebih banyak wisman dari Timur Tengah. Kita kalah dengan Malaysia dalam hal promosi," paparnya.

Ricky Avenzora menegaskan, dalam perspektif politik wisata, maka harus dikatakan bahwa tourism political bargaining Indonesia terus merosot tajam dan hampir mencapai titik nadir terendahnya. Berbagai kelemahan yang dimiliki pengambil keputusan dan kebijakan kepariwisataan Indonesia dalam masa reformasi, telah menghasilkan program-program dan tindakan kepariwisataan yang sangat artifisial dan sangat berbahaya dalam banyak bidang.

"Dalam lingkup internasional, meskipun belum resmi, agregasio dari kuota length of stay pariwisata Indonesia di pasar pariwisata internasional cenderung menurun dari 21 hari menjadi 14 hari. Sedangkan pada lingkup nasional, maka sangat jelas bahwa politikus dan pengambil kebijakan untuk pariwisata Indonesia, sama sekali tidak menyadari adanya ancaman politik pariwisata yang terstruktur dan sistematis dari berbagai negara tetangga," paparnya.

Sebagai contoh rendahnya political bargaining, coba amati berbagai inflight film yang disediakan PT Garuda Indonesia di pesawat GA yang terbang ke luar negeri. Carilah film yang ada tentang Indonesia dalam daftar inflight film mereka. "Coba tanyakan pada pihak Garuda tentang siapa dan di mana keputusan untuk memilih dan membeli inflight film tersebut dilakukan. Inflight film Garuda ditentukan di Malaysia," katanya.

Destinasi Baru

Asnawi Bahar yang juga Ketua Asita Sumatera Barat menjelaskan, pariwisata Indonesia kurang berkembang karena pemerintah kurang mengoptimalkan dan mengembangkan destinasi baru. Pemerintah selalu memberikan fokus ke Bali. Sehingga yang terjadi belakangan ini adalah penumpukan di Bali. "Hotel dekati titik jenuh. Bandara walau dikembangkan, tidak menjawab persoalan. Sementara destinasi lain kurang mendapat perhatian," katanya.

Wiendu menjelaskan, kunjungan wisman di Malaysia, Singapura, dan Thailand, bahkan Filipina meningkat pesat karena mereka menciptakan destinasi-destinasi baru, seperti Universal Studio di Singapura, yang menambah kunjungan 2,5 juta wisman dan 1 juta di antaranya orang Indonesia. Malaysia punya The Eye of Malaysia.

"Tanpa produk baru, kita akan mengalami product fatique, keletihan produk, jadi susah mendongkrak wisman. Jadi selain promosi terus digenjot, yang lebih penting adalah pembangunan kualitas destinasi," katanya.

Ricky melukiskan, yang terjadi saat ini bukan pembangunan destinasi, tapi merusak potensi destinasi yang ada karena salah sentuh dalam perencanaan. "Contoh, coba amati gerbang kota yang membatasi Bandara Soekarno-Hatta dengan Kota Jakarta. Apakah masyarakat Betawi tidak mempunyai identitas sehingga gerbang kota tersebut harus dibuat dengan mengambil identitas masyarakat Bali? Apakah Jakarta, sebagai ibukota Negara tidak mempunyai identitas sendiri? Atas hal itu, maka menjadi tidak salah jika banyak orang luar yang lebih mengenal Bali daripada Indonesia," katanya.

Menbudpar Jero Wacik, dalam Peluncuran Visit Banda Aceh Year 2011, menjawab kenapa Bali yang selalu dapat prioritas. "Bali terkenal di dunia bukan karena Manteri Kebudayaan dan Pariwisatanya orang Bali. Akan tetapi, karena Bali itu sendiri. Saya jarang mempromosikan Bali, Bali mempromosikan dirinya sendiri," tegasnya.

Menurut wisman, lanjut Wacik, Bali menjadi destinasi unggul, karena lima kriteria, yaitu kekuatan alam, budaya, manusia yang welcome, makanan, dan value. "Jika ingin suatu daerah memiliki destinasi unggul, penuhi kelima kriteria itu," tambahnya.

Wacik berlomba-lomba ajak gubernur dan bupati/wali kota menciptakan destinasi unggulan di daerahnya masing-masing.

Akan tetapi, tanpa adanya fokus program dan terintegrasikan program pendukung dari kementerian lain, maka pembangunan destinasi baru yang diharapkan, menurut Wakil Ketua Umum Asita Pusat Asnawi Bahar, tak akan mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan.

Atase Pariwisata

Lima tahun belakangan ini sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak Duta Besar RI yang menjadikan jumlah wisatawan ke Indonesia sebagai indikator keberhasilan tugas diplomatiknya di luar negeri.

Menurut Ricky Avenzora, di satu sisi hal tersebut adalah memang bisa menjadi indikator tentang pentingnya pariwisata bagi Indonesia, tapi di sisi lain hal tersebut menjadi kecenderungan yang sangat berbahaya bagi politik luar negeri Indonesia yaitu karena tupoksi diplomatik dubes tentunya bukan hanya peningkatan wisatawan.

"Hingga saat ini pun belum satu pun Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri yang dilengkapi dengan struktur Atase Pariwisata, sehingga tugas tersebut diemban oleh atase lain dan cenderung menjadikan mereka over duties dan tidak fokus pada tupoksi utama mereka," katanya.

Asnawi Bahar juga mengungkapkan hal senada, perlunya di setiap negara yang jadi sasaran pariwisata Indonesia, di Kedutaan Besar atau di Konsulat Jenderal RI ada atase pariwisata, yang khusus mengurus promosi dan sebagainya tentang pariwisata Indonesia. "Di banyak Kedutaan Besar dan KJRI, selain atase pariwisata belum punya, bahan promosi pariwisata pun tak ada. Kalau pun ada hanya Bali," katanya.

Sumber : kompas.com 19 Oktober 2010

Selasa, 12 Oktober 2010

Info Pendidikan


Pendidikan Karakter Ditularkan dengan Keteladanan

Dalam nilai-nilai kearifan lokal terutama Budaya Jawa, pendidikan karakter lebih efektif ditularkan kepada siswa dengan keteladanan. Sebab, keteladanan tidak selalu dari atas ke bawah, karena bisa dari samping atau dari bawah ke atas.

Hal itu disampaikan Pakar Pendidikan dari Majelis Taman Siswa Yogyakarta Prof Dr Ki Supriyoko MPd dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter ala Jawa di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sabtu (9/10).

Dia mengatakan, pada dasarnya karakter dapat diubah, dibentuk, dan dikembangkan seperti halnya keterampilan. Karena itu, menjadi suatu hal yang realistik untuk mengembangkan karakter generasi muda, terutama dengan nilai-nilai kearifan lokal.

’’Kita dapat meneladani karakter tokoh-tokoh pewayangan atau pahlawan lokal, seperti Prabu Puntadewa yang terkenal dengan sifat jujur dan ikhlas, kemudian Antasena yang terbuka, sakti, dan konsekuen, atau Sunan Kalijaga yang pandai memanfaatkan kesenian dan budaya lokal untuk mengajarkan kebaikan bagi masyarakat,’’ tuturnya.

Pembangunan karakter dalam budaya Jawa juga mengajarkan tentang manembah atau beriman dan bertakwa kepada Tuhan, masrawung atau bersosialisasi kepada sesama manusia, serta makarya atau bekerja untuk meraih prestasi. Tiga hal itu sangat diperlukan untuk mencapai tujuan hidup.

Paling Riil

Yang terpenting pembangunan dan pembentukan karakter harus ditularkan kepada siswa dengan keteladanan yang merupakan perilaku paling riil di masyarakat.

’’Memang mencari sosok teladan di era globalisasi sulit, tapi tetap perlu dilakukan, karena generasi muda juga menuntut keteladanan aktual dan kontekstual yang relevan dengan kemajuan zaman,’’ tandasnya.
Seminar bertema ’’Membangun Karakter Generasi dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal’’ ini dimoderatori Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Sucipto Hadi Purnomo, dengan pembicara lain Drs BRM Bambang Irawan MSi dari Keraton Solo dan Kajur Bahasa dan Sastra Jawa Unnes Drs Agus Yuwono MSi.

Agus mengemukakan, dalam menyampaikan pendidikan karakter kepada siswa harus memperhatikan prinsip perkembangan, yaitu secara berkelanjutan, pengintegrasian melalui semua mapel, pengembangan diri dan budaya sekolah, serta nilai-nilai yang tidak diajarkan tapi dikembangkan.

’’Pengintegrasian itu dapat dilakukan dengan mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar pada standar isi untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum sudah tercakup di dalamnya.

Suara Merdeka, 11 Oktober 2010

Rabu, 25 Agustus 2010

Politik

Kecewa pada Pemerintah, Belasan Purnawirawan Jenderal Datangi Taufiq Kiemas






Prihatin dengan suasana kebangsaan, para mantan petinggi militer yang tergabung dalam Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri mendatangi pimpinan MPR di Senayan, Jakarta (25/8).

Ketua MPR Taufiq Kiemas dan wakilnya, Melani Leimena Suharli, menemui sendiri 17 orang purnawirawan yang diketuai Jenderal (Purn) Try Sutrisno di Gedung MPR, Jakarta, Rabu (25/8).

Sekjen Forum, Letjen (Purn) Syaiful Sulun, dalam pertemuan itu menyatakan kalau para purnawirawan berpendapat bahwa selama 65 tahun Indonesia merdeka, rakyat bangsa ini belum menikmati arti kemerdekaan sesungguhnya.

"Rakyat semakin menderita, semakin miskin dan semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan. Jumlah orang miskin semakin besar, angka pengangguran terus bertambah, sementara para pemimpin kurang amanah, tidak hiraukan nasib rakyat, bahkan bergeming ketika kedaulatana negara diinjak bangsa lain," ujar Syaiful dalam pernyataan yang diserahkan kepada MPR.

Para purnawirawan menilai pemerintahan SBY-Boediono amat lamban dan peragu. Koalisi partai-partai politik pendukung pemerintah yang dibangun bukan untuk stabilitas tapi sekadar menjaga harmoni dan menghindari konflik.

Menurut mereka, yang menjadi penyebab semua persoalan di atas adalah para pemimpin negeri ini sudah jauh dari gambaran tentang kemerdekaan yang diamanatkan UUD 45. Pemerintah juga mengkhianati founding fathers yang menghendaki negara RI dibangun di atas dasar paham Pancasila, bukan liberalisme, komunisme dan bukan pula paham agama.

Mereka juga berpendapat, euforia reformasi telah menjungkirbalikkan pemahaman dan keadaaan Pancasila sehingga Pancasila tak dianggap lagi sebagai ideologi yang mampu menjawab tantangan masa depan, bahkan dinilai usang dan kuno.

Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri terdiri dari Dewan Harian Nasional 45, Legiun Veteran RI, Persatuan Purnawirawan ABRI, Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat, Barisan Nasional, Gerakan Jalan Lurus, Paguyuban Mantan Anggota DPR-RI, Yayasan Jati Diri Bangsa dan Nusantara Institute.

Sumber : rakyatmerdeka.co.id / 25 Agustus 2010

Info Olahraga

Bantuan Menpora Hanya untuk Cabang Prestasi



Perenang Indonesia, Glenn Victor Sutanto (kiri), mendapatkan ucapan selamat dari perenang Singapura, Rainer, dalam final nomor 100 meter gaya punggung putra SEA Games XXV di kompleks Stadion Nasional, Vientiane, Laos, Sabtu (12/12). Glenn meraih emas dengan catatan waktu 56,42 detik.

JAKARTA, Kompas.com — Asisten Deputi (Asdep) Pembina Prestasi Olahraga Menpora, Marhot Harahap, menegaskan, Menteri Pemuda dan Olahraga siap membantu semua cabang berprestasi menggelar kejurnas maupun mengirim atletnya menuju event internasional.

"Bantuan pada cabang berprestasi itu saat menggelar kejurnas maupun pengiriman atletnya menuju event internasional tidak bisa disamaratakan, namun disesuaikan dengan prestasi yang dimiliki atletnya menuju event internasional," tegas Marhot kepada Antara di Jakarta, Selasa (24/8/2010).

Marhot mencontohkan, bantuan pada cabang bulu tangkis (PB PBSI) dan tenis (PB Pelti), misalnya, tidak bisa disamakan dengan PB Perwosi saat menggelar event nasional. Semua itu dipantau dari kelanjutan atlet menuju prestasi puncak yang memiiki jenjang SEA Games, Asian Games, hingga ke Olimpiade.

Ia mengakui, sebelumnya Menpora memberikan bantuan merata pada semua cabang olahraga. Namun setelah dipantau lebih jauh lagi, maka sangat disayangkan bila bantuan itu tidak memiliki jenjang prestasi di tingkat internasional.

Dikatakannya, selama ini kantor Menpora menerima berbagai pengajuan proposal terhadap cabang yang ingin mendapatkan bantuan dana penyelenggaraan kejurnas maupun pengiriman atlet berprestasi tampil di event internasional.

Namun sekarang ini tegasnya, harus diteliti lebih jeli lagi agar dana yang dikeluarkan oleh kantor Menpora tepat guna dalam memajukan prestasi atlet nasional. Apalagi saat menerjunkan atlet pemula tampil di event internasional akan mendapat perhatian serius .

Dengan harapan pembibitan dan pembinaan atlet berjalan berkesinambungan untuk menggapai prestasi puncak hingga menuju Olimpiade. Seperti halnya pengiriman atlet remaja usia 14-18 tahun di Youth Olympic Games di Singapura 14-26 Agustus.

Namun, sangat disayangkan 14 atlet dari tujuh cabang olahraga belum mampu menyuguhkan prestasi terbaiknya. Kontingen Indonesia meraih medali perunggu melalui cabang angkat besi yang diraih Dewi Safitri.

Memantau hasil Olimpiade remaja di Singapura, katanya, dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pembibitan dan pembinaan olahraga di Tanah Air. Dengan pembinaan yang matang mulai usia dini tidak menutup kemungkinan atlet Indonesia dapat bersaing dengan atlet Thailand dan Malaysia yang kini mulai meninggalkan posisi Indonesia di kategori remaja.

Hasil yang diraih kontingen Indonesia dengan satu medali perunggu, jelas Marhot, merupakan suatu ancaman ke depan, baik ditingkat SEA Games, Asian Games, maupun Olimpiade. Kondisi seperti itu harus menjadi catatan berharga bagi pembinaan atlet nasional untuk menggapai prestasi puncak di masa mendatang.

Kompas. com, 24 Agustus 2010