Kamis, 26 November 2009

Info Pendidikan

UJIAN NASIONAL

Kasasi Ditolak, Pemerintah Akan Mengajukan PK


Menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Ujian Nasional yang diajukan oleh pemerintah, pemerintah akan kembali melakukan upaya hukum yang terakhir, yakni pengajuan peninjauan kembali atau PK atas perkara UN.

”Terus-terang saya belum membaca keputusan MA. Yang jelas kita menghormati apa pun keputusan lembaga hukum. Siapa pun juga harus menghormati upaya-upaya hukum yang masih dilakukan. Untuk selanjutnya, tentu pemerintah akan menggunakan hak yang dimiliki,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Rabu (25/11).

Menurut dia, proses hukum atas perkara UN itu bukan masalah kalah atau menang. Yang penting pemerintah telah menunjukkan segala persoalan yang ada terkait UN.

Kasasi

Putusan kasasi MA itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (6 Desember 2007) yang juga menolak permohonan pemerintah. Seperti diberitakan sebelumnya, gugatan warga negara atau citizen lawsuit dilayangkan masyarakat yang dirugikan akibat UN. Mereka menggugat Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atas dilaksanakannya kebijakan UN yang menjadi salah satu syarat kelulusan siswa.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 21 Mei 2007, memutuskan bahwa para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban UN.

Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di seluruh Indonesia sebelum melaksanakan UN. Setelah putusan dijatuhkan, pemerintah melakukan banding dan selanjutnya kasasi.

Secara terpisah, Ketua Dewan Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta Wuryadi menyatakan mendukung UN ditiadakan dan mengubah parameter kelulusan dari standar nasional menjadi standar wilayah. ”Standar kelulusan yang seragam secara nasional tidak adil bagi anak-anak di daerah yang belum maju,” ungkapnya.

Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mendesak pemerintah segera menghentikan UN. ”Kalaupun sudah telanjur dianggarkan, seperti yang pernah disampaikan Heri Akhmadi (anggota DPR), silakan laksanakan, tetapi terapkan mirip UASBN. Soal dibuat nasional, tetapi standar kelulusan yang membuat sekolah,” tutur Sekretaris Jenderal FGII Iwan Hermawan di Bandung.

Sumber Kompas, 26 November 2009

Senin, 16 November 2009

Info Olahraga

Ke Asian Games Perlu Dukungan Pemerintah


Agar cabang bela diri pencak silat dapat dipertandingkan pada Pekan Olahraga Antarbangsa Asia, dukungan Pemerintah Indonesia amat sangat diperlukan.

”Tanpa dukungan pemerintah, Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa yang sudah didirikan sejak 29 tahun lalu tidak mudah menjalankan misinya untuk mempertandingkan pencak silat di Asian Games, Commonwealth Games, apalagi olimpiade,” kata Eddie Marzuki Nalapraya, Presiden Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat), kepada Kompas, Sabtu (14/11).

Sejak berdiri 1980 hingga saat ini belum ada sedikit pun perhatian pemerintah terhadap pencak silat. Padahal, pencak silat merupakan cabang olahraga bela diri warisan budaya bangsa kita.

”Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu juga sudah menyandang gelar pendekar sejak tanggal 1 Agustus 2005. Tetapi, setiap pencak silat dipertandingkan di luar negeri, bisa dihitung jari berapa banyak duta besar atau staf kedutaan yang menyaksikan langsung kejuaraan di negara mereka bertugas,” ujar Eddie, yang juga mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.

Tinggal selangkah lagi pencak silat dapat dipertandingkan di Asian Games. ”Sebab, di Asian Games Indoor Vietnam, pencak silat dipertandingkan dengan 10 negara peserta,” kata Eddie, yang didampingi Rustadi Effendy dari Humas Persilat.

Saat ini, di luar negara Asia Tenggara, sudah ada beberapa negara yang memiliki persatuan pencak silat nasionalnya, seperti Jepang, Arab Saudi, Pakistan, Yaman, Iran, India, Nepal, Kazakhstan, dan Uzbekistan.

Khusus Jepang, Arab Saudi dan Pakistan, sekalipun ada persatuan pencak silat nasionalnya, komite olahraga nasional mereka belum mengakui. Adapun negara lainnya sudah masuk kategori anggota muda Persilat.

”Tentu dengan sudah bisa masuk Asian Games Indoor, kini tinggal selangkah lagi untuk bisa dipertandingkan di Asian Games, sedikitnya di Guangzhou, China, 2010 mendatang,” ujar Eddie.

Sebab, untuk pertandingan ekshibisi sudah di lakukan di Asian Games Busan tahun 2002. ”Saya berharap pemerintah dan KOI bisa bersinergi dengan Persilat agar pencak silat bisa dipertandingkan di Asian Games Guangzhou,” kata Eddie. (NIC)

Sumber : Kompas


Info Olahraga

Masih Buka Pintu Tim Nasional


Meski menunjukkan tren menurun, Indonesia sebenarnya masih menjadi salah satu kiblat bulu tangkis dunia. Buktinya adalah sukses wakil Merah Putih mempertahankan tradisi emas Olimpiade.

Saat ini, Indonesia secara keseluruhan hanya kalah dari Tiongkok. Mereka menguasai tiga supremasi kejuaraan beregu, Piala Thomas, Uber, dan Sudirman. Pada Olimpiade Beijing 2008, mereka sukses memborong tiga emas.

Sukses Tiongkok mendominasi bulu tangkis dunia tidak lepas dari sistem pembinaan terpusat yang mereka buat. Pembinaan pemain dibiayai oleh pemerintah. Ketika sudah jadi bintang, sang pemain juga harus patuh terhadap keputusan asosiasi. Seorang pemain pelatnas bulu tangkis di Tiongkok tidak boleh keluar dari pelatnas jika asosiasi bulu tangkis di sana masih membutuhkan sang pemain. Jika membangkang, hukuman berat -termasuk skors- bisa menimpa sang pemain.

Hal itu berbeda dengan di Indonesia. Pemain pelatnas bisa meninggalkan Cipayung, markas pelatnas, jika memang merasa tidak cocok dengan kondisi di timnas. Awal tahun lalu, beberapa pebulu tangkis papan atas memutuskan meningglkan pelatnas karena tidak mencapai kesepakatan terkait dengan besaran kontrak dari PB PBSI. Salah satunya adalah Vita Marissa. Pemain spesialis ganda itu kini bermain secara mandiri.

Meski sudah meninggalkan pelatnas, bukan berarti pemain-pemain itu tidak punya peluang lagi masuk timnas. Jika permainannya dianggap lebih baik daripada pemain pelatnas, sang pemain akan dipanggil masuk timnas.

Menurut Yacob Rusdianto, Sekjen PBSI, hingga saat ini, hubungan antara PB PBSI dan atlet-atlet mantan pelatnas sangat baik. "Kami masih menganggap mereka sebagai keluarga besar bulu tangkis Indonesia. Kami harap tidak ada yang mengotak-ngotakkan, atlet pelatnas maupun di luar pelatnas," paparnya. "Kalau performa mereka bisa mengalahkan pemain pelatnas, bukan tidak mungkin mereka kembali dipanggil timnas," tambahnya.

Dia menambahkan, para atlet mandiri -seperti Taufik Hidayat, Vita Marissa, atau Alvent Yulianto- masih bisa berprestasi bagus, kendati sudah tidak di pelatnas. Yacob menyatakan, walau sudah menjadi atlet mandiri, mereka masih bisa mempertahankan kondisi dengan baik.

Dia menuturkan, para atlet mandiri itu turut memperkuat bulu tangkis Indonesia. Sebab, di setiap kejuaraan, mereka tetap membawa nama Indonesia. "Kami turut bangga saat mereka berprestasi di setiap kejuaraan. Kami juga siap membantu mereka setiap saat. Terutama dalam hal pendaftaran. Sebab, di bulu tangkis, pendaftaran even internasional harus lewat PBSI," jelasnya.

Yacob menyatakan, hingga saat ini, mereka juga masih sering berlatih di Cipayung, kendati tidak mendapatkan jadwal berlatih khusus di sana. Kebanyakan datang untuk melakukan latihan tanding dengan atlet-atlet pelatnas.

Kendati masih terus berhubungan dengan para pebulu tangkis profesional itu, PBSI tidak akan memaksa mereka kembali ke pelatnas. Sebab, itu adalah pilihan mereka untuk berkarir sebagai pebulu tangkis mandiri. "Mungkin, mereka lebih enjoy bermain di luar (pelatnas). Yang bisa kami lakukan hanya mendukung mereka," jelasnya. (nar/ang)

Sumber : Jawa Pos

Kamis, 12 November 2009

Info Pendidikan

SEBAGIAN PROGRAM KERJA MENDIKNAS DINILAI DPR BARANG LAMA


Rapat perdana Komisi X DPR RI dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) diwarnai sejumlah kritikan dari para anggota Komisi X DPR. Pasalnya dalam program kerja 100 hari yang diungkapkan Mendiknas masih merupakan kebijakan lama dengan lapisan baru.
“Dari delapan program kerja, satu sampai tiga yang ditawarkan merupakan barang lama dengan bungkus baru,” ujar Hari Akhmadi (F-PDI Perjuangan) saat Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Mendiknas M. Nuh yang dipimpin H. Mahyuddin NS, Rabu (11/11).
Adapun yang dimaksud Hari barang lama dengan bungkus baru adalah terkait penyediaan internet secara massal di sekolah, penguatan kemampuan kepala dan pengawas sekolah, dan pemberian beasiswa Perguruan Tinggi Negeri untuk siswa SMA/SMK/MA berprestasi dan kurang mampu.
Sedangkan kelima program lainnya dinilai Hari sebagai barang baru yang kemudian hari nanti hanya menjadi dokumen karena sifatnya berupa kebijakan. Kelima program tersebut adalah Penyusunan kebijakan khusus bagi guru yang bertugas di daerah terdepan dan terpencil, penyusunan dan penyempurnaan Renstra 2010-2014, Pengembangan budaya dan karakter bangsa, Pengembangan Metodologi Pembelajaran dan Pengembangan Enterpreneurship.
Ia juga mengingatkan menteri pendidikan baru untuk mengutamakan nasib guru honorer dan guru bantu yang rencananya akan dituntaskan di tahun 2009. “lebih baik jika masalah itu jd program utama,” ujarnya.
Hari juga menyinggung penyediaan internet secara massal, mengingat pada menteri sebelumnya masih ada tunggakan utang internet milyaran rupiah. Oleh sebab itu, dirinya meminta agar menteri baru dapat menuntaskannya terlebih dahulu.
Senada diungkapkan Angelina Sondakh (F-PD) yang meminta untuk mengkaji lebih lanjut jaringannya supaya prasarana pendukung seperti computer yang telah disipakan tidak menjadi barang mangkrak.
Akbar Zulfakar (F-PKS) pun menilai program kerja 100 hari yang ditawarkan belum memberi gambaran secara konkrit sehingga belum dapat dikatakan sebagai program besar.
“Dari delapan program pada 100 hari kerja harus selain harus ada indikatornya juga masih terfokus pada orang-orang yang sudah sekolah bagaimana dengan penuntasan yang wajib mendapatkan pendidikan,” tanyanya.
Sementara dihadapan Anggota Komisi X, Menteri Pendidikan Muhammad Nuh menjelaskan bahwa program kerja 100 hari ditargetkan selesai pada Januari 2010.

Sumber : www.dpr.go.id



Kamis, 05 November 2009

Opini

SEA GAMES LAOS :

PROSPEK BURAM PRESTASI INDONESIA ?

Oleh : Utut Adianto



Sea Games ke-25 siap digelar di Laos: 8 – 16 Desember 2009. Menpora yang baru, Dr. Andi Alfian Malarangeng menegaskan, Indonesia harus mampu memperbaiki peringkat dari urutan keempat pada Sea Games dua tahun lalu menjadi – setidaknya – ketiga atau tiga besar. Sebuah keinginan berlebihan, atau hanya ingin menunjukkan prestasi yang lebih baik di bawah kepemimpinan barunya?

Tentu, tidak terkategori berlebihan. Keinginan peringkat ketiga – berarti perbaikan satu tingkat – merupakan hal wajar. Dan Negara manapun sebagai peserta memang harus berobsesi meraih prestasi terbaiknya. Secara filosofisnya, kita bisa mencatat bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Inilah makna kemajuan seiring dengan penambahan waktu. Jika sebaliknya (tidak lebih baik, bahkan jika sama seperti hari kemarin), berarti rugi. Makna filosofis itu mengandung spirit: atlet yang siap disertakan dalam Sea Games harus berjuang jauh lebih keras, meski targetnya tetap minimal, yakni memperbaiki satu peringkat. Barangkali, tempaan spiritnya harus lebih keras: peringkat tertinggi.

Namun demikian, kita bisa memahami logika tuntutan perbaikan yang hanya satu peringkat itu. Jika tuntutannya maksimal – katakanlah peringkat pertama – hal ini berkonsekuensi logis pada kesiapan prima para atlet, yang jauh sebelumnya benar-benar telah “bertempur” untuk menjadi terbaik. Kesiapan ini pun tak lepas dari berbagai faktor, antar lain, koordinasi efektif antar berbagai pihak yang terkait dengan kualitas prima para atlet. Dan yang tak kalah mendasarnya adalah, tuntutan itu tak akan lepas dari kesiapan finansial, yang disiapkan Pemerintah ataupun keterpanggilan unsur swasta. Finansialisasi itu semua – termasuk di antaranya -- memberikan bonus kepada atlet peraih medali emas khususnya, akan menjadi daya dorong (trigger) yang luar biasa, sehingga berpotensi meraih prestasi (medali).

Bagaimana dengan Indonesia? Ada sejumlah kendala yang harus dicermati. Fakta di lapangan menunjukkan, hingga kini (sampai tulisan ini disajikan), sebanyak 150 atlet yang siap mengikuti 20 cabang olahraga di Laos itu belum memasuki arena Pelatnas. Titik persoalannya bukan pada keengganan daerah dalam mengirimkan sejumlah atletnya, bahkan ketidaksiapan atletnya, tapi ada problem koordinasi di tingkat Pusat, yang notabene masih belum klop cara pandangnya antara kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) bahkan Komite Olahraga Internasional (KOI). Belum matchingnya koordinasi ini mengakibatkan tertundanya jumlah atlet yang harus digebleng lebih prima. Faktor yang mendasarinya dapat kita baca: keterbatasan anggaran itulah yang tampaknya memaksa berhitung, berapa atlet yang harus diikutsertakan dan berapa cabang olahraga yang harus diikuti. Data keterbatasan finansial inilah – konon hanya sekitar Rp 10 – 12 milyar – yang tampaknya lebih memilih pendekatan minimalis.

Yang menjadi persoalan, apakah pendekatan minimalis itu akan mencapai target, meski juga minimal (perbaikan satu peringkat)? Di atas kertas, masih tetap diragukan. Kita perlu mencatat, kesiapan pembinaan atlet yang penuh konsentrasi di Pelatnas minimal sekitar empat bulan sebelumnya. Lebih lama lagi sebelumnya jauh lebih memberikan harapan. Dan itulah yang dilakukan para atlet rivalis dari negara-negara sekitarnya seperti Malaysia, Thailand dan Filipina yang terus berjaya dalam setiap arena Sea Games. Lebih dari itu, atlet pun tidak boleh “dipimpong” akibat persoalan koordinasi antarinstansi terkait pembinaan olahraga. Harus dicatat, problem di tingkat vertikal berpengaruh destruktif bagi motivasi para atlet. Realitas kondisi ini mendorong pesimisme atlet untuk mengukir prestasi puncaknya.

Berangkat dari kondisi riil itu, kiranya, Pemerintah – secara obyektif – tidak boleh memaksakan kehendaknya selagi kewajiban dasarnya tidak terpenuhi. Sangat boleh jadi, bonus yang menggiurkan telah dipersiapkan. Tapi, faktor bonus ini terkategori terlambat karena waktu pembinaan fisik dan mentalnya hanya dalam ukuran beberapa hari sebelum kontingen berangkat ke Laos. Mungkinkah waktu dapat diputar mundur? Atau, mungkinkah perhelatan Sea Games – dengan alasan Indonesia masih perlu waktu pelatihan – diundur beberapa bulan lagi? Sangat tidak mungkin.

Belajar dari prospek buram bagi atlet kita untuk mengukir prestasi yang lebih baik, maka Pemerintah bersama tim teknis dari KONI/KOI sudah saatnya merancang- bangun sejumlah faktor yang mampu mengantarkan atletnya siap tempur dan berhasil meraih prestasi puncak. Konsep programnya tentu tidak boleh instan. Dalam hal ini kiranya menjadi urgen untuk bicara desentralisasi pencetakan dan pembinaan atlet sebagai strategi jangka panjang yang akan berbuah siap “perang” manakala diperlukan mendadak. Pemda bersama KONI daerah ditantang bagaimana mewujdukan program yang mampu melahirkan atlet andalan itu.

Kematangan proses pembinaan jangka panjang akan sangat efektif – setidaknya memperpendek waktu bagi Pelatnas – dalam menyempurnakan “bahan baku” (atlet) yang dikirim asing-masing Pemda/KONI daerah. Idealitas ini pun bukan tanpa kendala laten. Biaya pembinaan yang terbatas terus membayangi. Dalam hal ini, beberapa hal yang perlu digaris-bawahi adalah kebutuhan yang harus dipenuhi bukanlah hanya sang atlet selama latihan, tapi bagaimana membuat mereka dapat konsentrasi penuh dalam berlatih. Ini berarti harus mengkaitkan pemenuhan kebutuhan pokok mereka termasuk keluarganya (jika ia telah beranak-istri) yang harus nyaman. Konsep kenyamanan inilah yang tampaknya belum diprogram dengan terencana.

Yang perlu kita catat lebih jauh, selama atlet masih bercabang pikirannya, antara lain, harus memikirkan dapurnya, maka spirit berlatihnya tidak akan pernah maksimal. Inilah kondisi obyektif psikologis para atlet, sehingga Pemerintah – Menpora dan Pemda – harus merancanag-bangun instrumen ekonomi para atlet. Dalam hal ini dan inilah yang pernah dilakukan Menpora masa lalu (Adyaksa Daud) memasukkan sebagian mereka sebagai PNS. Persoalannya, kebutuhan dasar tidak cukup hanya sebagiandari mereka. Karenanya, seluruh atlet harus dirancang bagaimana mendapatkan fasilitas tertentu yang bisa menghidupi dirinya dan atau keluarganya, meski tidak harus PNS.

Konsep kepegawaian atlet cukup emberi makna konstruktif: mengurangi beban pikiran dala kaitan “dapur”. Yang menjadi persoalan, bagaimana sikap instansi terhadap atlet? Jika memang harus ikut kerja sebagaimana umunya pegawai, maka kondisi ini pun akan berdampak tidak maksimalnya latihan. Dan hal ini pun akan berdampak lebih lanjut. Dilematis memang. Yang satu – sisi ekonomi terpenuhi – tapi berdampak pada agenda latihan maksimalnya. Di sisi lain, tanpa pemenuhan ekonomi, juga berpengaruh ketidakmaksimalan berlatihnya.

Untuk itu harus ada pendekatan lain: sponsorship. Menpora dan atau Pemda harus mampu menjalin kemitraan dengan kalangan swasta untuk ikut mengalokasikan sejumlah devidennya untuk kepentingan pembangunan atlet. Alokasi dananya merupakan komitmen kebangsaan. Yang menjadi persoalan, tak mudah menggedor komitmen itu. Swasta akan selalu berpikir apa benefif atau feed back dari sejumlah nilai yang telah diberikan untuk kepentingan produsen. Pola pikir inilah yang mengakibatkan sebagian cabang olahraga tersponsori secara aksimal, dan sebagian lagi “kering”. Kita tahu, cabang-cabang olahraga yang diperhelatkan bukan hanya cabang-cabang yang “basah” sponsor itu. Di sinilah peran penting Menpora dan atau Pemda agar memaksa para partisipan sponsor itu.

Pemaksaannya akan efektif jika kategori pengeluarannya jelas, antara lain, sebagian pajaknya atau sebagian dana responsibilitas perusahaan yang sering kita kenal dengan CSR. Sekali lagi, partisipasinya bukan ke cabang-cabang olahraga tertentu, tapi harus melalui pintu tertentu, misalnya, dana pembinaan olahraga. Pintu inilah yang akan mengalokasikan ke seluruh cabang olahraga dan atletnya, sehingga semua cabang olahraga hidup. Seluruh atletnya pun bisa dibikin nyaman.

Kini, konsep seperti – boleh saja – erupakan masukan. Jika direspon positif dan ditindaklanjuti, berarti hasilnya bukan saat ini. Karenanya, sepanjang sistem pembinaan dan konsekuensi finansialnya masih model lama, maka janganlah berkecil hati jika prestasi atlet kita di arena Sea Games Laos belum mencapai target yang didambakan. Itukah potret buram Indonesia pada Sea Games XXV itu? Boleh jadi. Tapi, yang terpenting adalah bagaimana tidak mengulangi lagi potret yang menyedihkan itu. Itulah urgensinya terobosan yang didasari kesadaran semua komponen bangsa.

Jakarta, 2 November 2009

Penulis : Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP