Kamis, 31 Desember 2009

Info Reses

Utut Adianto :
Minat Baca Masyarakat Sangat Rendah




Anggota Komisi X DPR RI, Drs Utut Adianto, sangat prihatin dengan minat baca masyarakat Indonesia. Bahkan ketika melakukan reses di Kabupaten Kebumen, Kamis (24/12) siang, anggota F-PDI Perjuangan itu mengatakan bahwa minat baca masyarakat sudah sampai pada titik nadir terendah.


Pecatur yang pernah menjadi Grand Master (GM) itu, mengakui meningkatkan minat baca bukan pekerjaan mudah. Namun harus terus dilakukan. "Salah satunya dengan sosialisasi karena buka adalah jendela dunia," tegas Utut seraya mengatakan peran orangtua sangat besar untuk meningkatkan minat baca anak-anaknya.

Lebih lanjut dikatakan, ada anggaran Rp 300 miliar yang dikelola Perpustakaan Nasional. Namun rendahnya minat baca membuat buku-buku yang tersedia di perpustakaan hanya menjadi tumpukan buku.

Utut memanfaatkan Balai Desa Grorgolpenatus, Kecamatan Petanahan, untuk menjaring aspirasi selama masa reses. Utut mencoba menjaring aspirasi sesuai dengan tugas Komisi X DPR RI yang membidangi masalah pendidikan, pariwisata, perpustakaan, pemuda, dan olahraga.

Sebagian besar yang hadir adalah para kader PDIP Kabupaten Kebumen. Namun sayangnya tidak ada satupun anggota DPRD Kebumen dari F-PDI.

www.krjogja.com



Info Olahraga

SEA GAMES 2009
Atlet Jakarta Terima Bonus

Puluhan atlet SEA Games 2009 asal DKI Jakarta, Rabu (30/12), menerima uang penghargaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Peraih medali emas perorangan memperoleh Rp 70 juta, sementara atlet yang tak mengantongi medali tetap mendapatkan uang penghargaan Rp 2,5 juta.

Indonesia menempati urutan ketiga dalam daftar perolehan medali SEA Games 2009 di Laos. Hasil ini lebih baik ketimbang SEA Games 2007 di Thailand. Waktu itu, Indonesia menempati posisi keempat.

Di Laos, Indonesia merebut 43 emas, 53 perak, dan 74 perunggu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 10 emas di antaranya dipersembahkan atlet asal DKI Jakarta. Atlet Ibu Kota juga meraih 12 perak serta 19 perunggu.

Selain DKI Jakarta, provinsi yang atletnya menyumbangkan 10 emas adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bedanya, Jatim dan Jateng mengumpulkan perak dan perunggu lebih sedikit daripada Jakarta. Jatim mempersembahkan 11 perak dan 15 perunggu, sedangkan Jateng mendapat 9 perak dan 15 perunggu.

Potensi

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, apa yang diperlihatkan atlet DKI Jakarta di Laos membuktikan potensi besar provinsi itu untuk menjadi juara umum PON. ”Mari kita buat Jakarta menjadi juara umum lagi. Kita mempunyai fasilitas yang lengkap,” kata Fauzi dalam sambutannya pada acara penyerahan uang penghargaan di Balaikota.

Pada PON 2008 di Kalimantan Timur, DKI Jakarta gagal menjadi juara umum. Mereka tergusur ke posisi kedua. Sebaliknya, Jatim melejit menjadi juara umum.

Paling tinggi

Jumlah uang penghargaan paling tinggi, Rp 70 juta, diberikan kepada peraih emas perorangan. Atlet yang mendapat Rp 70 juta, antara lain, adalah Dedeh Erawati, Simon Santoso, Merry Wandra, dan Susyana Tjan.

Dedeh Erawati merebut emas lari gawang 100 meter putri, sedangkan Simon meraih emas bulu tangkis tunggal putra. Merry mengharumkan nama Indonesia lewat kemenangannya di cabang olahraga bela diri taekwondo kelas 58-63 kilogram putri. Adapun Susyana merebut emas dari cabang wushu nomor changquan.

Peraih perak perorangan mendapat hadiah uang Rp 25 juta. Mereka antara lain Rose Herlinda Inggriana (atletik lontar martil), Angelina Magdalena Ticoalu (biliar 8 ball), Ayu Fani Damayanti (tenis tunggal putri), dan Moria Manalu (wushu kelas 56 kilogram).

Untuk peraih perunggu, DKI Jakarta menganugerahkan hadiah Rp 12,5 juta. Pejudo Jimmy Anggoro dan petinju Arenaldo Moniaga adalah sebagian dari atlet yang menerima Rp 12,5 juta.

Untuk nomor ganda, masing- masing atlet peraih emas diganjar Rp 45 juta, peraih perak Rp 20 juta, dan perunggu Rp 10 juta. Atlet yang merebut emas dari nomor beregu mendapatkan Rp 25 juta. Peraih perak menerima Rp 12,5 juta, dan peraih perunggu Rp 7 juta.

Pelatih juga menerima uang penghargaan. Jumlahnya adalah Rp 25 juta, Rp 12,5 juta, dan Rp 7 juta. Atlet yang tidak mendapatkan medali menerima Rp 2,5 juta. Ofisial juga menerima uang penghargaan Rp 2,5 juta.

Dedeh Erawati menyatakan kegembiraannya atas penghargaan yang diberikan Pemprov DKI Jakarta. Menurut dia, apresiasi semacam itu bisa memicu semangat atlet. Dedeh juga mendapat Rp 7 juta karena merebut perunggu dari lari estafet 4 x 100 meter.

Kompas, 31 Desember 2009

Rabu, 30 Desember 2009

Info Pendidikan

Mobil Menteri Bisa Buat Gratiskan
2.300 Siswa

Sejumlah kalangan mengkritisi pengadaan mobil dinas baru bagi para pejabat negara. Setidaknya, 150 unit Toyota Crown Royal Saloon sudah meluncur di jalanan mengantarkan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, pimpinan lembaga perwakilan rakyat, dan pejabat negara lainnya.

Dalam sebuah kesempatan, Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan juga menyayangkan pembelian mobil mewah yang konon senilai Rp 1,3 miliar per unit, di tengah suasana keprihatinan masyarakat.

Anies mengatakan, meskipun memahami penyusutan aset pada mobil dinas lama, menurutnya, dalam situasi seperti saat ini, penganggaran yang besar untuk fasilitas pejabat negara bukanlah hal yang tepat. Anggaran besar, katanya, seharusnya bisa dialokasikan untuk pos anggaran yang berimplikasi langsung pada kesejahteraan rakyat.

Catatan Indonesia Budget Centre (IBC) menunjukkan, sejak tahun 2005-2010, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk belanja pegawai (gaji) berkisar 15-22 persen terhadap total belanja pemerintah pusat.

Peneliti Hukum dan Politik Anggaran Negara IBC, Roy Salam, mengatakan, tren alokasi anggaran untuk pos ini selalu naik dari tahun ke tahun, dan belum termasuk belanja barang untuk fasilitas pejabat dan aparatur di bawahnya.

“Sejatinya, APBN digunakan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Faktanya, APBN justru digunakan untuk menggemukkan birokrasi dan foya-foya pejabat dengan seribu alasan good governance. Padahal, mestinya dengan logika tersebut, anggaran lebih diefisienkan bukan malah diboroskan,” kata Roy, saat memberikan catatannya atas pengelolaan anggaran negara, Selasa.

Berdasarkan data yang dikumpulkan IBC, pengadaan mobil mewah pejabat menyedot APBN sekitar Rp 106 miliar. Harga 1 unit dikabarkan sekitar Rp 1,3 miliar. Sumber lain menyebutkan, mobil mewah yang diadakan melalui APBN-P 2009 itu, untuk 80 unit, beban pajak (PPnBM) yang harus ditanggung negara sekitar Rp 785 juta per mobil atau totalnya sebesar Rp 62,8 miliar (www.depkeu.go.id).

Satu untuk Biaya Sekolah 2.300 Siswa

Roy memaparkan, untuk total belanja mobil pejabat negara tersebut, setara dengan memberikan pendidikan gratis bagi 184.000 siswa setingkat SMP. “Ini fantastis! Bayangkan, jika saja pemerintah masih memiliki sense of crisis dengan kemiskinan masyarakat saat ini, maka sesungguhnya anggaran pengadaan dapat menggratiskan biaya pendidikan sekitar 184.000 siswa setingkat SMP atau biaya 1 mobil (Rp 1,325 miliar) dapat menggratiskan biaya pendidikan sekitar 2.300 siswa setingkat SMP dalam setahun,” ujar Roy.

Menurutnya, pemerintah bisa saja mengadakan mobil jenis lain yang harganya jauh lebih murah. Hal ini akan menghemat pajak mobil mewah yang mencapai Rp 62,8 miliar. “Uangnya bisa diposkan untuk kebutuhan yang lebih prioritas dan pro rakyat. Alasan untuk meningkatkan kinerja juga tidak bisa diterima. Siapa yang bisa menjamin dengan diberikan mobil mewah, kerja mereka akan lebih baik?” lanjutnya.

Pengadaan mobil mewah melalui instrument APBN-P 2009 pun, dinilai sebagai cerminan masih buruknya sisten perencanaan APBN. Beban APBN tidak akan berhenti hingga ke pembelian. Anggaran perawatan dan pemeliharaan aset negara tersebut juga diyakini Roy akan menyedot keuangan negara dalam jumlah yang tidak sedikit.

Kompas.com, 30 Desember 2009

Info Pendidikan

Pendidikan Instan Menggejala
Warga Menengah Atas Mendominasi


Beredarnya 1.463 lembar ijazah ilegal dari Yogyakarta menodai citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Inilah yang terjadi saat pendidikan berkualitas semakin sulit terjangkau masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Budaya instan pendidikan pun tak terhindarkan saat keterbatasan sebagian masyarakat ini dibaca oleh pasar.

Dari kacamata bisnis, DIY merupakan pasar yang sangat menggiurkan. Setiap tahun, tak kurang dari 40.000 pencari ijazah sarjana masuk ke kota ini. Akan tetapi, potensi pasar ini harus diperebutkan 805 program studi (prodi) dari sekitar 126 perguruan tinggi.

Dari jumlah ini, hanya beberapa gelintir yang mampu memperoleh jumlah mahasiswa yang memadai. Sisanya harus berjuang bertahan atau memilih menempuh jalan singkat, yaitu dengan membuat iming-iming tanpa peduli kualitas pendidikan. "Ijazah ilegal adalah salah satu bentuk iming-iming itu. Harga ijazah seperti ini murah, proses kuliahnya singkat, dan disertai manipulasi jumlah SKS yang telah ditempuh," kata Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah V DIY Budi Santosa Wignyosukarto di Yogyakarta, Selasa (29/12).

Kepentingan bisnis ini bertemu kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi dan akademis terbatas. Hampir semua korban ijazah ilegal yang diterbitkan Prodi Bimbingan Konseling Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Catur Sakti berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Kasus ini ditutup dengan pencabutan izin prodi yang menerbitkan ijazah ilegal serta diperketatnya standar pendidikan tinggi di Yogyakarta. "Langkah-langkah ini untuk menjaga kualitas pendidikan di Yogyakarta," kata Budi.

Namun, dari kejadian tersebut, satu pelajaran bisa dipetik bahwa tingginya biaya perguruan tinggi membuat sebagian kalangan menengah ke bawah terpaksa memilih jalan pintas demi meraih masa depannya.

Menengok sudut-sudut parkir sejumlah kampus besar di Yogyakarta, kalangan mahasiswa Yogyakarta semakin bergeser pada kalangan menengah ke atas. Di berbagai kawasan kampus terlihat mobil-mobil mahasiswa dengan harga lebih dari Rp 150 juta. Tak terkecuali di Kampus Universitas Gadjah Mada yang selama ini menyandang sebutan sebagai kampus kerakyatan.

Dalam sebuah unjuk rasa, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM menyebutkan, biaya kuliah di UGM naik berlipat ganda sejak statusnya berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN) atau mulai sekitar tahun 2002. Dilihat dari sumbangan masuk yang bisa mencapai Rp 125 juta di Fakultas Kedokteran, sulit membayangkan anak-anak dari keluarga ekonomi lemah memasuki kampus ini.

Sekolah gratis

Lembaran pendidikan seharusnya ditutup dengan optimisme dan mawas diri oleh para pelakunya. Tahun 2010 harus menjadi tahun pencerahan bagi sektor pendidikan. Setidaknya, pencerahan ini ditunjukkan di jenjang pendidikan dasar dengan program sekolah gratis yang sudah banyak didengung-dengungkan di kabupaten dan kota.

Di Bantul, dana biaya operasional pendidikan (BOP) digelontorkan sebesar Rp 126.000 per tahun per siswa untuk SD dan Rp 130.000 per tahun per siswa untuk SMP. Kebijakan serupa dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang memberikan bantuan operasional sekolah daerah (Bosda) sebesar Rp 250.000 per tahun per siswa SD dan Rp 625.000 per tahun per siswa SMP.

Pendidikan instan, mahalnya pendidikan tinggi, dan belum berhasilnya pendidikan gratis merupakan tantangan bidang pendidikan ke depan. Harapan kiranya selalu ada apabila semua pihak berpegang pada prinsip pendidikan merupakan hak setiap anak bangsa sekaligus investasi bagi kelangsungan negara ini di masa depan.

Kompas, 30 Desember 2009

Info Olahraga

Menunggu Kembalinya Prestasi Emas


Tinju merupakan cabang olahraga di mana Indonesia pernah menjadi salah satu kekuatan yang ditakuti, tidak hanya di tingkat Asia Tenggara, tetapi juga hingga tataran Asia. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan.

Bagaimana bisa menjadi andalan kalau sejak SEA Games 2003 di Vietnam prestasi petinju Indonesia terus melorot hingga di SEA Games 2009 Laos baru lalu.

Tradisi menyumbangkan medali emas dari cabang tinju sudah lama hilang. Sedikitnya sejak SEA Games 2003 Vietnam. Di Ho Chi Minh City, Pengurus Besar Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PB Pertina) sudah tidak mampu memberikan medali emas lagi kepada kontingen Indonesia. Hasil maksimal yang bisa diberikan adalah dua medali perak dan empat perunggu.

Vietnam masih bisa dikatakan jauh lebih baik daripada di SEA Games berikutnya di Manila, Filipina, dua tahun kemudian. Pada SEA Games 2005 itu, dengan menurunkan lebih dari sepuluh petinju, tetap saja PB Pertina hanya bisa memberikan satu medali perak dan sepuluh medali perunggu. Di Thailand tahun 2007 bahkan lebih terpuruk lagi. Cabang tinju hanya muncul dengan enam medali perunggu.

Kemudian di Laos, Desember ini, menurut sejumlah pengurus, prestasi petinju Indonesia masih sedikit lebih baik. Alasannya, karena di Laos mereka masih mampu mempersembahkan tiga medali perak, selain enam medali perunggu.

Kurang fisik

Sekretaris Jenderal PB Pertina Pulo Pardede mengakui bahwa petinju Indonesia belum mampu berprestasi gemilang, tidak lain karena memiliki kelemahan utama, yakni pada fisiknya.

”Contoh paling gampang dilihat bahwa petinju kita lemah fisiknya, bisa terlihat jelas pada pertarungan Achmad Amri saat menghadapi petinju Malaysia di kelas 81 kilogram,” tutur Pardede, satu-satunya wasit tinju Indonesia yang memiliki sertifikat internasional itu.

Dalam laga tersebut, menurut Pardede, Amri sama sekali tidak mampu lagi melepaskan pukulannya sejak ronde kedua dimulai. ”Padahal, pertarungan itu, kan, hanya tiga ronde. Amri tidak mampu melepaskan pukul- annya lagi sejak ronde kedua. Ini kan memperlihatkan bahwa petinju kita sama sekali tidak memiliki fisik yang baik,” ujarnya.

Hal serupa juga terjadi kepada Urais Arenaldo Moniaga yang bermain di kelas 54 kilogram. Putra mantan petinju nasional itu sama sekali tidak mampu menang dari petinju Kamboja.

”Padahal, lawan dari Arenaldo—setelah menang atas Arenaldo—itu langsung ditundukkan lawannya dalam waktu 15 detik. Rasanya memang kita harus kembali ke inti dari pertarungan lebih dulu sebelum mengirimkan petinju kita ke ajang internasional,” katanya.

Memang percuma bila Indonesia mengirim petinju yang langsung dibantai petinju negara lain di atas ring, hanya gara-gara petinju kita tidak memiliki stamina yang mumpuni.

Padahal, petinju Indonesia rasanya sudah semakin banyak yang bergaya. Sayang, mereka hanya menjadi sasaran uji coba petinju mancanegara. Mungkin Indonesia memang perlu kembali mempertimbangkan kehadiran pelatih asing. Lihat saja Laos yang sudah menggunakan pelatih asal Kuba dan mereka mampu memperoleh satu medali emas.

Lama

Selain kelemahan dalam fisik dan stamina, satu kelemahan Indonesia lainnya adalah kurangnya kejuaraan tinju itu sendiri, terutama kejuaraan tinju di dalam negeri.

Kejuaraan Sarung Tinju Emas (STE), yang dulu menjadi tempat bertemunya para jawara tinju dari berbagai pelosok di Indonesia, kini jarang digelar.

Lihat saja bagaimana nasib STE saat ini. STE tahun 2009, misalnya, baru akan digelar awal tahun 2010. Bahkan, tuan rumahnya pun sudah berubah.

Sebelumnya Medan menyatakan siap untuk menjadi tuan rumah pelaksanaan STE 2009. Mendadak mereka membatalkan diri sehingga baru awal tahun 2010 ini STE 2009 akan digelar dengan tuan rumah barunya, Ambon.

Yang lebih menyedihkan lagi, tidak ada lagi Piala Presiden yang sejak tahun 1980-an menjadi barometer kekuatan dunia tinju di Asia. Piala Presiden ini sudah sangat lama tidak lagi mampu digelar PB Pertina, lebih dari tujuh tahun atau bahkan hampir tiga periode Ketua Umum PB Pertina.

Prestasi keberhasilan seorang Ketua Umum PB Pertina tidak hanya diukur dari keberhasilannya melahirkan petinju Indonesia yang mampu meraih medali di SEA Games. Salah satu ukuran lain apakah dia mampu menggelar Piala Presiden. Ini menjadi prestise tersendiri. Sebab, hanya di Piala Presiden inilah semua pencinta tinju Indonesia berikut mata tinju dunia Asia akan mengamati siapa raja di Asia.

Maklum, dalam kejuaraan ini tidak hanya negara-negara Asia yang menurunkan petinju terbaiknya. Ada juga Amerika Serikat, Kuba, dan Rusia yang menjadi gudang petinju andal dunia yang tidak pernah absen di saat Piala Presiden ini mampu bergulir tanpa jeda.

Jadi, sekarang, ketika tahun bergerak dari 2009 ke 2010, harus ada langkah yang lebih baik lagi dari PB Pertina untuk mengangkat tinju Indonesia.

Kompas, 30 Desember 2009

Info Olahraga

Beberapa "Venue" Akan Direnovasi
pada 2010


Direktur Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Bambang Prajitno menyatakan, perbaikan venue di kompleks Senayan—yang akan dipakai untuk SEA Games 2011— akan mulai dilaksanakan 2010.

”Kami akan melakukan renovasi menyangkut pelaksanaan SEA Games di kawasan GBK ini,” kata Bambang seusai menyerahkan bonus bagi atlet dan pelatih berprestasi di SEA Games Laos dan Asian Indoor Games Vietnam, Selasa (29/12).

Bambang menambahkan, perbaikan venue itu diupayakan mencapai standar internasional, seperti disyaratkan dalam SEA Games. ”Saya kira, komitmen kami sangat jelas. Kami siap mendukung sepenuhnya pelaksanaan SEA Games,” katanya.

Menurut Bambang, setiap tahun Gelora Bung Karno (GBK) menganggarkan biaya untuk pemeliharaan, renovasi, serta pembangunan sarana dan prasarana olahraga yang ada. Ini dilakukan untuk mempertahankan kondisi agar fasilitas yang ada tetap dapat memenuhi standar internasional.

”Jadi, untuk SEA Games 2011, yang antara lain berlangsung di DKI Jakarta, GBK siap. Kami akan melakukan renovasi untuk SEA Games 2011. Ini juga merupakan bentuk dukungan untuk kemajuan olahraga Indonesia,” ujar Bambang.

Bonus

Bonus Rp 1,5 miliar dari GBK diserahkan Bambang kepada Bendahara Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Ahmad Solihin, disaksikan Sekretaris Menteri Sekretaris Negara Rildo Ananda Anwar, di Jakarta, Selasa.

”Ini komitmen kami dan merupakan dukungan langsung dari GBK kepada para atlet nasional yang berprestasi di tingkat internasional,” katanya.

Bambang menegaskan, sesuai dengan visi dan misinya, hasil pengelolaan GBK diarahkan untuk mendukung dunia olahraga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan tidak langsung berupa keringanan tarif fasilitas olahraga, pembebasan biaya pemakaian fasilitas untuk pelatnas, dan subsidi menginap di Hotel Century. (MBA)

Sumber : Kompas, 30 Desember 2009

Sabtu, 19 Desember 2009

SEA Games

Thailand Juara Umum, Balas di Jakarta


Thailand akhirnya mempertahankan gelar juara umum pesta olahraga Asia Tenggara XXV dan mengungguli pesaing terdekat, Vietnam।

Thailand yang menjadi juara umum di negaranya pada 2007 lalu kembali ke puncak dengan mengumpulkan 86 emas, 83 perak dan 97 perunggu. Mereka unggul tipis atas pwsaing tedekat, Vietnam yang mengumpulkan 83 emas 75 perak dan 57 perunggu.

Di hari terakhir, JUmat (18/12/2009), Thailand menambah dua emas melalui ajang tenis dan petanque. Sementara Vietnam mendapatkan dua emas cabang menembak.

Sementara Indonesia yang merupakan raja pada masa pemerintahan Soeharto, berada di posisi tiga dengan mengumpulkan 43 emas 53 perak dan 57 perunggu. Posisi tiga besar ini sesuai dengan target yang dibuat.

Indonesia tengah berusaha mengembalikan supremasi olah raga Asia Tenggara dengan memperbaiki kualitas atlet yang dikirim. Upaya pembuktian tersebut akan diwujudkan pada SEA Games XXVI yang akan berlangsung di Jakarta pada 2011 mendatang.

Waktu dua tahun tentunya cukup buat induk-induk organisasi olahraga memilih dan menyiapkan atlet-atlet mereka. Sementara para pemegang otoritas tertinggi dunia olahraga harus memberi prioritas cabang-cabang yang mampu mendulang banyak medali seperti angkat besi, atletik, renang, fin swimming, bulu tangkis दल.

Sumber : Kompas, १९ Desember 2009

Pernik

Utut Adianto
Banting Setir

Utut Adianto (44) kini sudah banting setir. Dulu ia berkutat dengan dunia catur. Mulai dari pemain biasa hingga menjadi pemain bergelar grand master dan menjadi pengurus Persatuan Catur Seluruh Indonesia sudah dilakoni Utut. Sekarang ia menjajal tantangan baru, yaitu menjadi politisi di DPR. Sesuai dengan latar belakangnya sebagai pecatur, ia pun bergabung dengan Komisi X DPR yang antara lain mengurusi olahraga.

Dalam jumpa pers persiapan turnamen catur kilat So Good Christmas Cup 2009 di Jakarta, Rabu (16/12), Utut menyampaikan kesibukan Komisi X yang tengah mendorong terbitnya perangkat hukum untuk menjamin hari tua atlet. Lewat perangkat hukum itu, diharapkan tak ada lagi atlet yang pernah mengharumkan nama bangsa, tetapi terlunta-lunta pada masa tuanya. Namun, Utut tidak menepis fakta bahwa terkadang mantan atlet terlunta-lunta menjalani masa tua akibat ulahnya sendiri yang teledor mengelola keuangan.

Utut lantas menyampaikan kritik terhadap pengurus olahraga di daerah-daerah, berkaitan dengan bonus atlet। Mereka dinilai jor-joran dalam memberikan bonus kepada peraih medali di tingkat nasional। ”Saya kira kita perlu mengatur batasan besarnya bonus. Jangan jor-joran seperti sekarang,” ujarnya.

Sumber : Kompas, १९ Desember 2009

Rabu, 16 Desember 2009

Info SEA Games


Kerja Keras Setahun Serafi Sia-Sia

KEKECEWAAN mendalam dirasakan Serafi Anelis di Laos. Penye­babnya bukan penampilan buruk di SEA Games XXV/2009. Melainkan, latihan kerasnya selama berbulan-bu­lan sia-sia karena dia tidak bisa berlaga di nomor spesialisasinya, lari 100 meter, Minggu lalu (13/12). "Saya jelas kecewa dengan kejadian itu. Saya sudah mempersiapkan diri selama setahun. Tapi, di sini saya tidak turun ke gelanggang," kata Serafi kepada Jawa Pos di Main Stadium National Sports Complex kemarin pagi (15/12).Dia makin kecewa karena torehan peraih emas 100 meter tidak jauh dari catatan waktunya selama latihan. Artinya, dia berpeluang merebut medali, bahkan emas, jika bisa tampil Minggu lalu. Serafi tidak bisa tampil karena namanya tidak masuk dalam daftar peserta. Penyebabnya mungkin dualisme pemusatan latihan yang diselenggarakan Kemenpora dan KONI/KOI beberapa bulan lalu. Saat itu Serafi tergabung dalam PAL yang dibawahi Kemenpora. Selain dia, atlet PAL yang tidak bisa turun adalah Jauhari di nomor lari 5.000 meter dan Agus Prayogo pada nomor 10.000 meter. Pelatih atletik Dicky Gunawan menyatakan tidak bisa berbuat apa-apa dengan masalah yang menimpa Serafi, Jauhari, dan Agus itu. "Kami sudah memberikan daftar atlet kepada pengurus PB PASI. Nah, pendaftaran ke SEA Games adalah urusan pengurus," jelasnya.Dicky mengatakan pernah mengecek nama-nama atlet yang didaftarkan ke KONI. Saat itu dia mendapati nama tiga atlet tersebut tidak ada. Dicky lantas protes. "Kata pengurus, sudah ada daftar su­sulan yang akan disampaikan ke KONI. Namun, saat saya mengikuti pertemuan teknis SEA Games, nama atlet-atlet tersebut tidak ada," paparnya.Sekjen PB PASI Tigor Tanjung menuturkan ada kesalahan dalam final entry SEA Games.

Sumber : Jawa Pos, 16 Desember 2009

Opini



Menuju Olahraga Berprestasi
Oleh : Utut Adianto
Iri dengan prestasi olahraga yang diukir bangsa-bangsa lain? Tentu dan wajarlah sikap iri itu, karena proporsinya positif. Fakta sosiologis menggambarkan, melalui prestasi olahraga, martabat atau harga diri bangsa dan negaranya terangkat. Itulah yang mendorong banyak negara berlomba untuk meraih prestasi terbaik atau terunggulnya, ditandai perolehan medali terbanyak atau pemenang dari final kompetisi.

Memang, olahraga bukan ranah politik. Tapi, keberadaannya bisa ikut memberikan makna konstruktif-positif bagi setting politik. Nama bangsa dan atau negara terangkat atas kemenangannya. Kini, bagaimana prestasi olahraga kita? Fakta mencatat, hanya cabang-cabang tertentu yang mendunia. Mayoritas jauh di bawah standar. Maka, sebuah obsesi yang harus dibangun adalah bagaimana mengukir prestasi olahraga kita ke level internasional seperti olimpiade, setidaknya, level regional (Asia) seperti Asian Games, bahkan yang lebih rendah lagi setingkat Asia Tenggara seperti SEA Games?

Jawabannya sangat tergantung pada kemauan politik Pemerintah. Jika memang menilai penting atas prestasi puncak atlet kita, konsekuensinya adalah perhatian ekstra terhadap pengembangan dunia olahraga. Refleksi yang mudah dibaca bukan pada instruksi atau harapan kepada para atlet dan jajaran terkaitnya (pelatih dan organisasi keolahragaan), tapi bagaimana memfasilitasi kebutuhan riil mereka. Hal ini akan tercermin jelas pada alokasi anggarannya. Jika memadahi, maka di sana akan terlihat optimisme. Sebab, amunisi yang memadahi berpotensi besar untuk membangkitkan spirit atlet, para pelatih dan manajemen pengelolaannya. Sebaliknya, jika yang penting ada anggaran, maka konsekuensinya sebuah risiko: pretasinya pun apa adanya, sulit untuk mencapai terbaik. Jika ada, terbatas jumlahnya.

Lalu, bagaimana sebenarnya sikap Pemerintah terhadap komitmen pengembangan olahraga di tanah air ini? Yang perlu kita garis-bawahi bukan semata-mata bangsa ini sehat, tapi mengukir prestasi di bidang olahraga. Jika kita buka pagu anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga dari tahun ke tahun, terkategori kecil atau terbatas. Sebagai ilustrasi tahun lalu (2009), pagu anggarannya tak lebih dari Rp 500 milyar. Dengan angka seterbatas ini, apa yang diharapkan untuk mencapai prestasi puncak. Sangat tidak rasional. Pagu anggaran itu relatif menggambarkan proporsi Kementerian Pemuda dan Olahraga sesungguhnya tak lebih dari sekedar asesoris. Dan – boleh jadi – hanyalah politik balas budi. Dengan proporsi seperti ini, maka kita dapat menerawang, pantaslah prestasi olahraga kita cukup terbatas.

Sedemikian terbataskah komitmen Pemerintah dalam mengembangkan olahraga di tanah air ini? Tentu, tak mau dituding seperti itu, meski data faktual tak bisa dipungkiri. Untuk menghindari tudingan yang tidak sedap itu, tampaknya Pemerintah – melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga – memperjuangkan pagu anggaran 2010 yang jauh lebih tinggi: mencapai Rp 1.553.859.460.000,-. Meski demikian, pagu anggaran tiga kali lebih besar dari tahun lalu ini tetap jauh lebih kecil dibanding sejumlah departemen teknis lainnya. Sebagai ilustrasi, Departemen Pendidikan Nasional mencapai Rp 51,796.49 trilyun (15,81% dari total anggaran nasional). Departemen Pertahanan Rp 40,688.68 trilyun (12,42%), Departemen Pekerjaan Umum Rp 35,227.12 trilyun (10,46%). Perbandingan pagu anggaran tersebut tetap mengundang tanya bagi kepentingan pengembangan olahraga dalam konteks prestasi terunggul.

Meski demikian, kita dapat menghargai tekad perbaikan anggaran itu, yang tentu punya misi tertentu, antara lain, berusaha menaikkan prestasi atlet dalam rangka memasuki kompetisi terbuka. Tapi, untuk mencapai prestasi puncak – secara matematis – masih diperlukan biaya jauh lebih besar, apalagi jika diharapkan semua cabang olahraga. Dengan fakta keterbatasan pagu anggaran itu, maka diperlukan siasat sekaligus komitmen Pemerintah bagaimana langkahnya mencapai konsekuensi biaya obyektif yang diperlukan untuk membangun prestasi itu, katakanlah melalui SEA Games.

Harus kita catat berulang kali, untuk mencapai prestasi puncak tidak bisa hanya mengandalkan kaulitas prima para atlet dan jajarannya (pelatih dan organisasi keolahragaan), tapi justru lebih didominasi faktor nonteknis. Sektor nonteknis ini (persoalan pendanaan) – sejauh ini – tidak terencana maksimal. Sesekali waktu, ada pihak sponsor yang mendanai event olahraga. Kita harus mencatat, kemauan sponsor bukan hanya tidak konsisten, tapi mereka juga bersikap pragmatis: adakah gain yang diraih dari partisipasinya dalam pesta olahraga itu?

Sebagai pedagang, mereka mau berkonstribusi jika ada feed back (keuntungan material) bagi kepentingan dirinya. Sementara itu kita tahu, sejalan dengan fakta pagelaran olahraga – secara umum – tidak mampu menyedot animo masyarakat dalam jumlah besar, maka para pihak sponsor pun enggan untuk ikut mendanai. Secara komparatif, para sponsor lebih tergerak untuk mensponsori pagelaran musik karena memang penontonnya membludak. Dan itu beda dengan pesta olahraga yang jauh lebih kecil jumlah penontonnya, sehingga para sponsor memang terlihat enggan pada event-event olahraga. Di sinilah, proses peloyoan menuju atlet berprestasi. Bukan hanya persoalan tingkat pelaksanaan event, tapi ketiadaan “amunisi” untuk membina atlet dan jajarannya yang terkait.

Karenanya, konsep pembangunan olahraga haruslah diubah: menciptakan olahraga sebagai industri. Diawali kerjasama dengan kaum industri, kemudian atletnya harus mampu memperlihatkan prestasinya secara fantastik. Reputasinya dijadikan modal yang siap “diperdagangkan” untuk kepentingan mitranya (industri) yang sejauh ini memfasilitasi prestasinya. Inilah format yang sudah berjalan efektif di sejumlah negara Barat. Sinergisitas industriawan – atlet dan manajemennya mampu mengantarkan sejumlah atlet berprestasi, yang bersifat grup ataupun individual.

Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya masih jauh, bagai panggang dari api. Kaum idustriawan masih memandang sebalah mata terhadap keberadaan atlet kita. Tak bisa disalahkan seratus persen. Kalangan pemodal sudah terlanjur berprinsip: memberikan dananya, berarti harus ada feed backnya. Sementara, atlet pun bisa berdalih, bagaimana mungkin bisa mencapai prestasi puncak sementara tak ada “amunisi” yang memadahi. Masing-masing tak bisa disalahkan. Di sinilah urgensi komitmen Pemerintah dalam konteks anggaran yang memadahi.

Sejalan dengan realisasi pagu anggaran keolahragaan yang relatif masih terbatas, maka komitmennya perlu diterjemahkan lebih jauh: menggunakan kekuasaan. Dalam hal ini ada dua model yang bisa dibangun. Pertama, mengefektifkan himbauan agar perusahaan – terutama BUMN – mengalokasikan sebagian dana corporate social responsibility (CSR) untuk membantu pengembangan dunia olahraga. Kita tahu, total dana CSR dari BUMN-BUMN sangat besar. Akan jauh lebih besar lagi jika himbauan itu juga diefektifkan ke perusahaan-perusahaan swasta kategori besar. Total akumulasinya sangat berpotensi untuk membangun pengembangan olahraga.

Yang menjadi persoalan, perusahaan-perusahaan itu – terutama BUMN – tampak enggan untuk mengalokasikannya. Faktornya, tidak mudahnya meminta tanda bukti pengeluaran dari para penerima bantuan. Padahal, era sekarang sungguh riskan jika pengeluaran tidak disertai bukti valid. Bisa dikategorikan penyalahgunaan wewenang (korupsi). Karenanya, yang harus dirancang adalah bagaimana dua pihak pencari sponsor dapat memahami arti krusial tanda bukti pengeluaran. Sementara itu, untuk perusahaan swasta, Pemerintah harus bisa lebih memaksa, bukan sekedar himbauan dan bukan pula sekedar menginformasikan peraturan CSR. Kalau perlu, ada kompensasi (insentif) bagi partisipan.

Yang kedua, Pemerintah – secara proaktif – memanggil sejumlah pengusaha papan atas. Mereka dikumpulkan di Istana, misalnya, dan masing-masing dibagi tugas untuk membina cabang-cabang olahraga yang ada. Dengan instruksi tegas Presiden, kiranya mereka tak bisa menolak. Hal ini – sebagai komparasi – pernah dilakukan mendiang Presiden Soeharto yang mengumpulkan para pengusaha kelas kakap. Langkah ini dilakukan sebagai evaluasi atas kekalahan Indonesia pada SEA Games 1995 yang gagal menduduki urutan pertama, padahal sebelumnya selalu meraih posisi teratas: empat kali SEA Games berturut-turut (1977, 1979, 1981 dan 1983). Bahkan, meski pernah jeda sekali dalam SEA Games 1985 di Thailand, tapi dua tahun berikutnya Indonesia merebut kembali sampai empat kali berturut-turut juga: 1987, 1989, 1991, dan 1993.

Itulah makna krusial penggunaan kekuasaan. Dengan langkah mengumpulkan para pengusaha papan atas itu, Indonesia berhasil memperbaiki posisi urut pada SEA Games XIX di Jakarta,1997, tidak hanya juara umum, tapi perolehan jumlah medalinya yang jauh lebih tinggi dibanding urutan kedua: Indonesia meraih 194 emas, 101 perak dan 115 perunggu. Sementara, Thailand sebagai urutan kedua hanya meraih 83 emas, 97 perak dan 78 perunggu.

Sejarah prestasi olahraga Indonesia itu kini tinggal catatan manis. Sejak lahir Orde Reformasi, prestasinya – terutama di SEA Games – terus menurun. Hal ini karena tiadanya perhatian khusus Pemerintah bahkan tiadanya penggunaan kekuasaan berpengaruh destruktif terhadap minimnya capaian prestasi atlet Indonesia. Hal ini baca pada lima SEA Games terakhir (1999, 2001, 2003, 2005 dan 2007). Karena itu, sudah saatnya mendayagunakan kembali kekuasaan. Kiranya tidak menjadi persoalan sepanjang arahnya konstruktif: untuk kepentingan martabat bangsa. Langkah ini diperlukan untuk menopang APBN yang relatif masih terbatas, meski tahun 2010 ini naik.

Satu makna yang perlu dicatat, penggunaan kekuasaan untuk melibatkan para pengusaha dalam pengembangan olahraga adalah ketersediaan dana untuk membina atlet. Kita tahu, pembinaan tidak boleh hanya menjelang pagelaran, tapi jauh sebelumnya dan bersifat kesinambungan atau terus-menerus. Inilah kata kunci yang mengantarkan hasil nyata. Lebih dari itu, realitas keberhasilannya bisa menularkan motivasi, tidak hanya para atlet yang siap berlaga, tapi juga para penerusnya. Bahkan, bisa juga menjadi daya dobrak untuk menyemaikan benih-benih di tengah masyarakat, sehingga atlet-atlet berpotensi bermunculan. Secara sadar atau tidak, keterlibatan para pengusaha besar dalam dunia olahraga bisa menciptakan proses regenerasi olahragawan yang bisa diharapkan.

Apakah alam reformasi ini masih cocok mendayagunakan kekuasaan? Memang ada nuansa yang agak beda dibanding alam Orde Baru. Namun demikian, kalangan konglomerat – sesuai dengan karakter dan prinsip dagangnya – akan merespons positif ketika sang presiden campur tangan langsung. Rakyat pun akan menyambut positif sejalan dengan campur tangannya memang untuk kepentingan rakyat, apalagi berdimensi menaikkan harga diri bangsa.

Akhirnya, apakah Presiden tetap berpangku tangan melihat prestasi olahraga kita yang kian meredup, setidaknya dalam lima kali SEA Games terakhir? Memang, Presiden sudah wanti-wanti kepada para atlet yang siap berlaga di SEA Games XXV di Laos itu untuk meningkatkan prestasinya, minimal menjadi tiga besar, bahkan mengukir prestasi seperti masa lampau (juara umum). Harapan itu wajar. Tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana memfasilitasi para atlet hingga meraih prestasi yang diharapkan.

Harus disadari, jika tak ada fasilitas konkret, maka grafik prestasi olahraga kita akan semakin menurun. Dan itulah tren yang sudah terlihat (terjadi) sejak Orde Baru runtuh. Haruskah menyalahkan para atlet? Tidaklah fair. Mereka manusia biasa, yang memerlukan “amunisi” untuk kehidupan dirinya, bahkan keluarganya, juga bukan untuk jangka pendek waktunya. Kenyamanan dirinya dan atau keluarganya untuk saat ini dan masa depan berpengaruh penting terhadap motivasi para atlet, semasa dalam arena pelatihan ataupun ketika berkompetisi dan masa selanjutnya. Inilah catatan yang kiranya bisa diharapkan untuk mengukir prestasi olahraga kita di hadapan bangsa-bangsa lain. Semoga, SEA Games XXV di Laos nanti menjadi tonggak kesadaran baru untuk membangkitkan olahraga di Persada Nusantara ini. Andai hasil SEA Games XXV nanti tidak sesuai harapan karena banyaknya persoalan yang dihadapi selama ini, inilah pijakan sebagai bahan evaluasi untuk kemudian menatap lebih jauh guna mengantarkan prestasi olahragawan kita ke tingkat puncak. Sebuah kesadaran konstruktif yang berdimensi jauh.

Jakarta, 24 November 2009
Penulis: Grandmaster Internasional Catur, peraih medali emas Olimpiade Istanbul, 2000. Kini anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Info SEA Games Laos

Baru Dua Atlet Cetak Rekor

HINGGA hari keenam pelaksanaan pesta olahraga antarbangsa se-Asia Tenggara, tercatat 43 pemecahan rekor SEA Games (SEAG). Dari sejumlah rekor tersebut, ternyata Indonesia baru menempatkan dua atlet yang memberikan sumbangsih untuk tercatat dalam sejarah SEAG sebagai pemecah rekor.
Sprinter Suryo Agung Wibowo mencetak rekor baru SEAG lewat nomor lari 100 meter putra, la mencatat waktu 10,17 detik sekaligus menajamkan rekor sebelumnya atas namanya sendiri 10,25 detik yang dibuat di SEAG XXIV Nakhon Rat-chasima. Thailand, 2007.
Sebelumnya cabang angkat besi lewat Eko Yuli Irawan me rmahkan rekor milik Gustar Juniarto dalam kelas 62 kg yang ditorehkan di SEAG XXIII Hanoi. Tiga rekor milik Gustar itu dari total angkatan, clean and jerk dan snatch. Indonesia menurunkan 515 atlet yang berlaga di 22 dari 25 cabang olahraga yang dipertandingkan.
Hingga pukul 17.00 WIB berdasarkan laman daring resmi panitia SEAG www.laoseagames2OO9.com, Singapura masih menjadi negara yang paling banyak menorehkan 12 rekor dari menembak (2 rekor) dan renang (10). Thailand menempati posisi berikutnya dengan 10 rekor dari atletik (3), menembak (4), renang (3).Kemudian Malaysia tujuh rekor dari menembak (1) dan renang (6). Vietnam empat rekor menembak. Filipina empat rekor dari atletik (1) dan renang (3). Indonesia bersama Laos dan Myanmar sama-sama mencetak dua rekor.
Cabang menembak dan renang memang menjadi primadona pengumpulan medali dalam kegiatan multiajang seperti SEAG, Asian Games, dan Olimpiade. Dengan fakta yang muncul seperti itu, tidak terlalu salah jika kemudian Menpora Andi Mallarangeng dalam berbagai kesempatan menyebutkan bakal lebih fokus dalam pembinaan olahraga individual.
Hasil yang diraih dari nomor perseorangan tersebut jaqh lebih memungkinkan. "Ke depan kita bakal lebih fokus dalam pembinaan olahraga individual. Karena potensi mencatat prestasi yang lebih bagus," ujar Andi, beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, angkat besi menjadi cabang dengan sumbangan medali terbanyak buat Indonesia, yaitu 5 emas, 1 perak, dan 1 perunggu. Para lifter tersebut
adalah Jadi Setiadi di kelas 56 kg, Eko Yuli Irawan (62 kg), Triyatno (69 kg) di bagian putra. Di putri Lisa Rumbewas (58 kg) dan Okta Dwi Pramita (63, kg). Tambahan perak diberikan Sinta Darmariani di kelas 69 kg dan perunggu dipetik Noviyanti (68 kg).
Kesuksesan itu membuat PB PABBSI berhasil melampaui target yang dibebankan. Dari empat emas yang dibidik, mereka sukses meraup lima emas. Itulah yang sempat dikatakan Ketua Umum PB PABBSI Adang Daradjarun kepada Media lndo-nesia sebelum keberangkatan ke Laos. "Kami akan buat kejutan di sana. Lihat saja nanti," tegasnya.
DPR bereaksi
Sementara itu, Komisi X DPR-RI akan memanggil Menpora, Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan PB PAS1 berkaitan dengan tidak bisa tampilnya tiga atlet atletik, yakni Agus Prayogo, Djauhari Djohar, dan Sherafl, di nomor spesialis lari jarak menengah.
"Kita akan panggil Menpora, KOI, dan PB PASI untuk meminta penjelasan mengapa mereka tidak bisa tampil di nomor spesialisnya. Padahal, sudah jelas-jelas berpeluang merebut medali emas," ujar anggota Fraksi PDIP Utut Adianto di sela-sela kunjungan ke arena pencak silat dan wushu di Gedung Lao ITTEC, Vientiane, kemarin.
Mereka tidak diperkenankan tampil di nomor spesialisnya itu akibat nama mereka tidak terdaftar sebagai peserta. Pihak KOI melalui Wakil Chef de Mission Djoko Pramono menuding itu merupakan kesalahan PB PASI. "Bukan hanya PB PASI yang bertanggung jawab. KOI juga tidak boleh cuci tangan sebab KOI merupakan pintu terakhir untuk mengecek kebenaran dari usulan setiap induk-induk organisasi," kecam JEW Gosal, mantan anggota Bidang Pembinaan KONI Pusat.
Sumber : Media Indonesia, 15 Desember 2009

Info SEA Games Laos

Indonesia Sulit Capai Tiga Besar

Anggota Komisi X DPR RI mengunjungi posko Indonesia di National University of Laos (NUOL), Senin (14/12) malam. Mereka diwakili Utut Adianto, Akbar Zulfakar, Zulfadhli, dan Teuku Zaini Amin, mempertanyakan kiprah tim Indonesia selama perhelatan SEA Games 2009 Laos.Dalam perbincangannya dengan wakil Chief de Mission Indonesia, Djoko Pramono, keempatnya mempertanyakan segala kendala serta kesiapan tim Indonesia sebagai tuan rumah SEA Games 2011.
"Kalau untuk mencapai tiga besar, rasanya tidak mungkin. Kami harus realistis menjabarkan masalah ini. Untuk saat ini, rasanya tidak mungkin," jelas Djoko kepada anggota DPR. Utut Adianto sebagai wakil rakyat juga mempertanyakan masalah-masalah yang dialami tim Indonesia selama SEA Games digelar. "Hari ini (kemarin), kami mengunjungi beberapa cabang olah raga, bahkan harus mencicipi makanan atlet. Cukup berprotein bagi mereka," jelas Utut.

Senin, 14 Desember 2009

Intropeksi

Belajarlah Pembinaan Olahraga Seperti China


Dulu pembinaan olah raga Cina diidentikkan sebagai steril dari iming-iming finansial yang menggiurkan. Konsep amatirisme dengan hegemoni kuat negara terhadap kehidupan atlet sangat kental dalam model pembinaan demikian. Toh, Cina membuktikan diri menjadi salah satu kekuatan di dunia olah raga.

Perlahan namun pasti, negeri tirai bambu itu mulai mengubah haluan politik dengan menciptakan upaya percepatan ekonomi dengan juga mengadopsi prinsip-prinsip kapitalisme, meski masih dalam terjemahan gaya dan tata cara khas Cina. Hal itu kini berimbas dalam pola pembinaan olah raga Cina. Jangan bandingkan kehidupan olah ragawan Cina masa kini dengan masa lalu. Selamat tinggal "kemiskinan" dan "sekadar bakti" buat negara. Olah ragawan Cina kini juga lekat dengan iming-iming material, bahkan berkehidupan layaknya mitra mereka di negara-negara kapitalis.

Contoh terkini adalah peraih medali emas pertama bagi kontingan tuan rumah di Olimpiade Beijing 2008, yakni lifter putri Chen Xiexia. Prestasi di berbagai ajang sudah menjadi langganan bagi atlet berusia 25 tahun itu. Harian setempat, Oriental Sports Daily merilis laporan bahwa Chen Xiexia bakal menerima 10 juta yuan (sekitar Rp 13,27 miliar) dari berbagai pihak di Cina. Sebuah kejadian yang di masa lalu, merupakan impian belaka bagi banyak atlet Cina berprestasi.

Cina menghadiahkan setiap peraih medali emas 250.000 yuan (sekitar Rp 330 juta) dengan kenaikan sebesar 50.000 yuan (sekitar Rp 66 juta) dari yang diperoleh di Olimpiade Athena sebagai insentif ekstra mencapai kemenangan. "Itu hanyalah permulaan karena masih ada hadiah dari provinsi asal atlet dan sponsor," demikian tulisan harian itu selanjutnya.

Sebagai tambahan, Yayasan Fok Ying Tung yang didirikan oleh seorang pengusaha dan dermawan Hong Kong memberikan kepada setiap peraih medali emas Cina satu kilogram emas dan 80.000 dolar AS (sekarang sekitar Rp 720 juta) sejak 1984. Sebagai tambahan, setiap penghasilan yang diterima atlet Cina tak akan dikenai pajak.

Chen Xiexia tetap rendah hati dan mengatakan emas yang direbutnya sama saja dengan emas-emas lainnya. Meskipun raihan emas itu disorot banyak media, karena menjadi raihan pertama bagi tuan rumah.

Olimpiade 2008 Beijing memang memberi banyak pelajaran yang bisa diambil. Sebagai tuan rumah, Beijing 2008 memberikan banyak contoh untuk ditiru. Raksasa olah raga Asia, bahkan dunia itu layak dijadikan model pembangunan olah raga. Mereka sangat serius memerhatikan pembangunan olah raga. Cina menunjukkan bahwa olah raga adalah bidang yang tidak bisa dikelola semaunya. Olah raga juga tak bisa dikelola secara instan dan dilakukan demi kepentingan politik semata.

Info Pendidikan

Setiap Tahun, 1,5 Juta Remaja
Putus Sekolah


Data dari Depdiknas menyebutkan, setiap tahun sekitar 1,5 juta remaja Indonesia putus sekolah atau tidak dapat melanjutkan pendidikan. Ini berarti setiap satu menit ada empat remaja yang putus sekolah.

Remaja (usia 13-18 tahun) adalah generasi penerus dan calon pemimpin di masa depan. Untuk menyelamatkan masa depan remaja agar tetap bersekolah, Putera Sampoerna Foundation (PSF) meluncurkan kampanye penggalangan dana ”Save a Teen” di Jakarta, akhir pekan lalu.

Acara peluncuran juga dihadiri oleh 34 mitra yang berasal dari berbagai sektor bisnis seperti bank, perhotelan, restoran, mal, hiburan, dan media. Kampanye penggalangan dana bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan semua elemen masyarakat untuk membantu remaja-remaja Indonesia kembali ke sekolah.

”Kami berharap kampanye 'Save a Teen' ini dapat mengumpulkan donasi sebesar 1 Juta dolar AS. Dana tersebut akan membiayai lebih dari 12.000 siswa SMP dan SMA di seluruh provinsi di Indonesia selama satu tahun,” ujar Vira Soekardirman, Sales Director Putera Sampoerna Foundation.

Angka partisipasi sekolah terkecil di Indonesia adalah kelompok umur 16-18 tahun. Dalam kelompok umur itu, hanya 54,6 persen yang bersekolah. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan kelompok umur lainnya, yakni kelompok umur 7-12 tahun 97,6 persen dan kelompok umur 13-15 sekitar 84,3 persen (BPS 2009).

Kendala

Hanya 6,58 persen penduduk Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi dan berhasil menembus dunia kerja. Data itu jelas menunjukkan bahwa untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi banyak kendala yang dihadapi sebagian besar remaja di Indonesia.

Laporan Pembangunan Manusia 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pembangunan (UNDP) menyebutkan, peringkat pembangunan manusia Indonesia (HDI) berada di urutan ke-111 dari 182 negara.

”Memberikan kesempatan bagi remaja Indonesia untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas berartu menyelamatkan masa depan bangsa,” ujar Vira. Untuk berdonasi secara langsung, dana dapat langsung ditransfer ke rekening BCA 4583009992 atas nama Putera Sampoerna Foundation atau hubungi (021) 5772340. (bn-45)

Sumber : Suara Merdeka, 14 Desember 2009

Info Pendidikan

Kebijakan Penambahan SMK Perlu Direkonstruksi


Tiga tahun terakhir ini pemerintah begitu intensif mengembangkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kebijakan pemerintah menargetkan pada 2010 perbandingan jumlah SMK : SMA adalah 60:40 dan pada 2015 akan ditargetkan menjadi 70:30.

Asisten Direktur I Program Pascasarjana (PPs) Unnes ini Dr Samsudi MPd justru menilai perlu adanya rekonstruksi kembali terhadap perumusan kebijakan tentang pengembangan SMK tersebut.

”Sudah seharusnya direkalkulasi dan direfleksi kembali. Ada tanda-tanda menteri yang baru ini akan mengakomodasi revisi target 70:30. Karena itu, kalau diteruskan bisa seperti kasus Bibit-Chandra yang lebih banyak mudarat daripada manfaatnya,” tandas pakar Pendidikan SMK yang akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik Unnes besok pagi.

Dalam pengukuhannya, dia akan menyampaikan orasi ilmiah berjudul ”Mengembangkan Kompetensi, Membangun Citra SMK”. Orasinya merupakan catatan kritis terhadap kebijakan mewujudkan provinsi vokasi (kejuruan) dan upaya pemerintah terus menambah SMK.

Substansi

Dr Samsudi menjelaskan, perlu dipahami bahwa substansi pengembangan SMK bukanlah pada jumlah melainkan lebih pada bagaimana menata, membangun, dan mengintensifkan kompetensi yang dimiliki anak didik.
Dia mengaku khawatir dengan penambahan yang dilakukan dan berharap Depdiknas hendaknya memetakan terlebih dahulu potensi-potensi yang riil yang bisa menjadi unggulan.

”Misalnya Makassar dijadikan pusat pendidikan kejuruan bidang kelautan. Jadi, kalau mau mencari lulusan kejuruan bidang kelautan, di sana pusatnya,” terangnya.

Dia menambahkan, potensi-potensi tidak sekadar dipetakan tetapi juga dicoba dan diimplemantasikan. Anggaran, tenaga, SDM, dan sebagainya yang dibutuhkan seharusnya dirancang secara benar.

”Perlu dipastikan juga bahwa lulusannya bisa diserap betul dan kompetitif di lapangan kerja. Kalau masih banyak dibutuhkan bidang keahlian tertentu, perlu untuk dibuka juga di tempat lain. Ini akan memudahkan mengingat sudah ada referensi yang jelas. Sekarang ini semua bergerak dan berjalan sama dan parahnya tak terarah,” ungkap dia. (H31-45)

Sumber : Suara Merdeka, 14 Desember 2009