Senin, 11 Januari 2010

Info Pendidikan

DPR Panggil Mendiknas


Penolakan Ujian Nasional

Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) Dedi Gumelar (kiri), Puti Guntur Soekarno (tengah) dan Utut Ardianto berbincang sebelum memberikan penjelasan tentang ujian nasional di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (8/1).

[JAKARTA] DPR menolak penyelenggaraan ujian nasional (UN) tahun 2010, sebelum pemerintah melaksanakan amar putusan Mahkamah Agung (MA), yang isinya menolak kasasi pemerintah soal UN.

DPR juga menyesalkan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh, yang bersikeras akan menyelenggarakan UN, walau sudah diingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengkaji kembali kebijakan UN sebagai satu-satunya alat ukur dalam pendidikan nasional.

"Kami akan memanggil Mendiknas Senin (11/1), meminta klarifikasi atas pernyataan dia yang bertentangan dengan pernyataan Presiden. Kami juga akan memohon fatwa MA, untuk memberikan penegasan, apakah pemerintah telah melaksanakan amar putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait UN," kata anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P), Dedi Gumelar kepada pers di Jakarta, Jumat (8/1).

Dedi mengatakan, pihaknya merasa gembira dengan pernyataan Presiden soal mengkaji kembali kebijakan UN. Tetapi, terperangah ketika mendengar pernyataan Mendiknas, yang menafsir lain pernyataan Presiden Yudhoyono. "Karena itu, kami mendesak Mendiknas melaksanakan putusan MA dan melaksanakan apa yang dikatakan Presiden," katanya.

Anggota Komisi X DPR dari FPDI-P, Puti Guntur Soekarno mengatakan, pemerintah harus memperhatikan aspek hukum sebelum menerapkan UN. "Pengadilan memerintahkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum mengeluarkan kebijakan menggelar UN," katanya.

Utut Adianto dari Komisi X DPR mengatakan, pemerintah harus realistis melihat kondisi sistem pendidikan kita di daerah. Ketimpangan pendidikan masih terjadi di mana-mana. Program komputerisasi yang dicanangkan Mendiknas, katanya, terkesan kejar target, karena ada sekolah yang tidak punya listrik, tetapi mendapat bantuan komputer. "Ini kan tidak realistis," katanya.

Serahkan ke Pendidik

Sementara itu, Manajer Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan di Jakarta, Sabtu (9/1), mengatakan, UN boleh dilaksanakan, dengan syarat hanya sebagai pemetaan, bukan tolok ukur kelulusan siswa. Penentuan kelulusan diserahkan kembali kepada pendidik, melalui ujian akhir sekolah. Karena merekalah yang mengetahui capaian anak sepanjang tiga tahun di sekolah.

Bila pemerintah tetap menggelar UN dengan alasan anggaran sudah dipersiapkan, kata dia, silahkan saja. Namun, tidak boleh dipakai sebagai syarat kelulusan siswa. Alasannya, kemampuan siswa hanya diketahui oleh pendidik, bukan Mendiknas. Selain itu, untuk mengukur capaian siswa selama tiga tahun, harus secara holistik. "Silakan saja kalau tujuannya untuk pemetaan itu tanggung jawab pemerintah, bisa dilakukan 2-3 tahun sekali. Tetapi, jangan rampas hak guru dan pemborosan anggaran triliunan rupiah," katanya.

Pembangkangan Mendiknas terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) yang bersikukuh melaksanakan UN 2010, kata Ade, mengajarkan pada pendidik dan anak didik, bagaimana cara melawan hukum. Sikap demikian tidak sepatutnya ditunjukkan oleh Mendiknas.

Menanggapi pernyataan Mendiknas yang menyatakan putusan MA tidak memberhentikan UN, menurutnya, karena Mendiknas takut kehilangan proyek UN yang sudah siapkan. "Lebih utama selamatkan anggaran ketimbang anak. Makanya, kami juga minta anggaran UN perlu diaudit khusus. Ini jelas, Mendiknas menggunakan pendekatan politis bukan lagi pendidikan," ucapnya.

Terkait tujuan UN untuk pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan, katanya, tidak jelas dan diragukan. Sebab, sudah tujuh tahun dilaksanakan pemetaan, tetapi hingga saat ini tidak jelas hasilnya, tindak lanjutnya seperti apa. Depdiknas tidak terbuka kepada publik. Demikian pula dengan peningkatan kualitas, disangsikan apakah berhasil atau malah makin merosot.

"Asumsi pemerintah tersebut konyol. Logika sederhananya, kalau mutu bagus, kualitas pelayanan juga harus bagus. Masalah ini sudah berulang-ulang diperingatkan publik, tetapi pemerintah tidak peduli," jelasnya.

Suara Pembaruan, 10 Januari 2010

Tidak ada komentar: