Rabu, 27 Januari 2010

QUO VADIS UJIAN NASIONAL




Dengan melakukan Ujian Nasional seperti sekarang ini sebenarnya Pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan yang sangat gegabah dan belum pernah dilakukan oleh negara mana pun di dunia ini, yaitu menjadikan standardized test yang high-stakes sebagai exit exams bagi semua jenjang pendidikan yang berlaku di seluruh daerah di Indonesia. Tak ada negara lain di dunia ini yang melakukan hal tersebut. UN yang dijadikan sebagai alat kelulusan, yaitu sebuah perangkat untuk mencegat siswa untuk melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya, yang berlaku bagi semua siswa di jenjang pendidikan SD, SMP dan SLTA di seluruh Indonesia dengan sebuah tes standar yang berisiko tinggi memang tidak pernah dilakukan oleh negara mana pun.Standardized test artinya sebuah tes yang didesain agar semua siswa menjawab pertanyaan yang sama dalam kondisi yang serupa dan jawaban mereka dinilai dengan cara yang sama. Jadi meskipun hanya berlaku untuk daerah tertentu saja, tes tersebut juga disebut Tes Standar. Sebuah tes standar baru layak dilakukan jika siswa yang akan diuji tersebut telah mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan apa yang telah diperolehnya (test what you teach). Setiap tes yang beresiko tinggi haruslah hanya mencakup materi yang PERNAH dipelajari oleh siswa. Tak boleh ada soal tes yang belum pernah dipelajari oleh siswa.
Bagaimana mungkin kita menerapkan sebuah tes yang standar bagi siswa yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang standar? Apa yang mau diuji dan diketahui dengan itu? Darimana pemerintah mengambil kesimpulan bahwa pelayanan pendidikan DI SELURUH Indonesia telah sama standarnya dari Sabang sampai Merauke sehingga layak untuk diuji dengan sebuah tes standar? Ini sungguh gegabah dan di negara lain hal tersebut dapat membuat pemerintah dituntut di pengadilan karena telah melakukan sebuah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Sungguh aneh bahwa tak ada satu pun propinsi di Indonesia yang protes mendapat perlakuan sewenang-wenang seperti ini. Ini juga menunjukkan bahwa pendidikan belum otonom di Indonesia dan daerah juga belum tahu apa yang harus dilakukannya tanpa pusat yang mendiktenya.
Ujian nasional adalah sebuah bentuk tes yang dikategorikan sebagai ’high-stakes’ (berisiko tinggi) karena digunakan untuk menjadi penentu utama dalam kelulusan siswa, dan memiliki konsekuensi besar bagi siswa yaitu tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi jika mereka tidak lulus. Sebuah ujian berkategori ’beresiko tinggi’ jika merupakan satu-satunya penentu kelulusan Meski Depdiknas selalu berkilah bahwa UN hanya 1 diantara 4 syarat kelulusan tapi sebenarnya 3 persyaratan lain boleh dikata tidak berarti dibandingkan dengan syarat nilai UN itu sendiri. Tanpa lulus UN ketiga syarat yang lain tidak ada artinya.
Exit exams artinya adalah sebuah ujian standar (standardized test) yang harus dilalui oleh siswa untuk lulus dari sekolah jenjang SLTA. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa siswa yang lulus sekolah publik memiliki kemampuan dasar yang ditetapkan dan biasanya dalam bidang bahasa dan matematika. Siswa harus lulus ujian ini agar dapat memperoleh sertifikat untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Selama ini hanya siswa SLTA (high-school) yang diwajibkan untuk mengikuti exit exams dan tak ada siswa jenjang SD atau SLTP yang diwajibkan untuk mengikutinya. Siswa SD dan SLTP memang HARUS meneruskan pendidikannya karena itu adalah undang-undang. Umumnya, di negara-negara lain ujian yang bersifat nasional adalah untuk memonitor dan menjaga standar pendidikan dan bukan untuk memvonis siswa. Di Indonesia, ujian nasional (UN) menjadi faktor yang menentukan kelulusan. Siswa yang tidak lulus terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dan ini sudah bertentangan dengan undang-undang.. Dengan UN ini Depdiknas berusaha mencegat siswa kelas 6 dan kelas 9 yang tidak lolos dengan nilai tertentu untuk dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang berikutnya (kelas 7 dan kelas 10). Ini artinya Depdiknas menerapkan ‘exit exams’ bagi jenjang SD dan SMP.
Tak ada negara mana pun di dunia in yang menerapkan exit exams bagi jenjang SD dan SMP. Tak ada negara yang mensyaratkan siswanya harus lulus ujian tertentu sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya karena pendidikan adalah sebuah kewajiban bagi setiap anak. Mereka HARUS meneruskan pendidikannya dan tidak boleh putus sekolah. Jadi bagaimana mungkin sebuah negara yang menetapkan pendidikan sebagai sebuah kewajiban (compulsory) tapi menerapkan ‘exit exams’ bagi siswa SD dan SMP-nya? Bukankah ini justru bertolak belakang dengan prinsip wajib belajar bagi anak-anak kita? . Di Malaysia, ujian nasional tidak menjadi vonis bagi siswa. Ujian tidak menjadi syarat untuk naik ke jenjang pendidikan berikutnya, tetapi untuk melihat pencapaian siswa.
Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh pemerintah dengan UN yang dijadikan sebagai syarat kelulusan (exit exams) bagi siswa SD dan SMP? Dapat ilmu darimanakah gerangan pemerintah kita sehingga mengambil kebijakan yang sangat aneh ini?
Apakah kita perlu menerapkan satu Ujian Nasional (UN), standar tes yang bersifat ‘high-stakes’ untuk semua daerah di Indonesia? Jelas tidak dan jika dilakukan maka itu jelas merupakan sebuah kesalahan fatal. Baik Australia, New Zealand, Amerika Serikat tidak menerapkan satu standar tes yang berlaku untuk semua negara bagiannya karena ide menerapkan satu ujian untuk semua negara bagian saja sudah mendapat tentangan yang begitu besar, apalagi langsung menerapkannya seperti di Indonesia ini. Setiap daerah atau negara bagian mempunyai karakteristik pendidikan yang berbeda-beda dan sungguh tidak mudah untuk menerapkan sebuah bentuk ujian yang adil, layak, perlu dan bermanfaat bagi semua siswa. Jangankan lagi di Indonesia yang disparitas kualitas pendidikannya begitu jauh antara satu daerah dengan daerah lainnya, sedangkan di negara-negara maju pun hal ini menjadi pertentangan. Padahal kalau dipikir semua negara bagian baik itu di AS, Australia, dan New Zealand memiliki standar kualitas yang tidak terlalu jauh berbeda jika mau dibandingkan dengan Indonesia. Sebuah penelitian di AS menyebutkan bahwa ujian yang distandardkan merugikan dan mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan akses terhadap pendidikan, sebab ujian yang distandardkan selalu merefleksikan kultur mayoritas. Dan ini jelas merugikan bagi kultur yang minoritas.
Pemerintah Cina juga tidak melakukan ujian nasional yang berlaku untuk semua daerah di daratan China. Mereka bahkan membuat sebuah keputusan untuk mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah mereka untuk menerapkan ujian kelulusan mereka sendiri, bukan ujian yang dibuat oleh lembaga pendidikan Negara. Pemerintah China juga melarang pemerintah daerah menggunakan jumlah siswa yang diterima di jenjang pendidikan lebih tinggi sebagai ukuran untuk menentukan kualitas sekolah. Artinya bahkan China juga tidak percaya pada rezim ujian nasional sehingga kita jadi tidak tahu sebenarnya Indonesia berkiblat pada negara mana dalam hal ujian nasional ini.
Ujian yang standar memang semestinya hanya digunakan sebagai alat evaluasi dan bukan sebagai alat penentu kelulusan. Pemerintah sudah mengingkari fungsi ujian nasional yaitu untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia dan menjamin mutu pendidikan nasional. Tak ada yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal itu.
Lantas mau dibawa kemana pendidikan kita dengan Ujian Nasional seperti ini?
Satria DharmaKetua Umum Klub Guru Indonesia
http://www.klubguru.com

Tidak ada komentar: