Kamis, 28 Januari 2010

Info Pendidikan

Fraksi PDI-P Tolak UN



JAKARTA-MI: Fraksi PDIP dengan tegas menolak pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang akan dilaksanakan pada 22 Maret mendatang sepanjang pemerintah tidak mempertimbangkan nilai-nilai lain di luar UN. Alasannya, nilai UN sebagai salah satu syarat kelulusan, namun faktanya tetap penentu utama kelulusan. "Fraksi PDIP melihat tidak ada keadilan, karena seharusnya pemerintah melihat kelulusan siswa dari nilai lain, bukan UN saja sebagai penentu utama kelulusan siswa," kata anggota komisi X DPR Fraksi PDIP Tubagus Deddy Gumilar dalam jumpa pers, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (27/1). Turut hadir pula, anggota fraksi PDIP lainnya, Heri Akhmadi, Utut Adianto, Guruh Soekarnoputra dan Puti Guntur Soekarno. Deddy mengatakan, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri memang dilaksanakan UN, namun sistem penentu kelulusan ditentukan oleh nilai evaluasi semester pertama, semester kedua, nilai ujian sekolah, dan nilai UN. "Ini berbeda dengan saat ini, karena nilai UN berdiri sendiri, dan sifatnya mematikan syarat penilaian lainnya," ujar Deddy. Heri Akhmadi menambahkan, sebelumnya fraksi PDIP telah bertemu dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh untuk mempertimbangkan rumusan kelulusan siswa seperti masa Presiden Megawati Soekarnoputri. "Namun, Mendiknas tidak setuju dengan alasan, banyak sisi negatifnya, karena banyak sekolah yang meluluskan siswanya," kata Heri. Melihat hal itu, ungkap Heri, menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam membina integritas dan proses pendidikan di sekolah-sekolah atau satuan pendidikan. Pasalnya, pemerintah sendiri justru tidak percaya dengan integritas satuan pendidikan di bawahnya. "Ini menunjukkan, pemerintah telah gagal membentuk sistem pendidikan nasional," ujar Heri. Senada dengan Heri, Puti Guntur Soekarno mengatakan, dengan tidak percayanya pemerintah pada satuan pendidikan, maka korbannya adalah para siswa. Pasalnya, para siswa saat ini dididik bukan untuk mendapatkan proses pendidikan, melainkan mereka belajar hanya untuk lulus UN. Untuk itu, kata Deddy Gumilar, pihak fraksi PDIP tetap bersikeras untuk menolak UN. Ia menambahkan, bahwa fraksi PDIP tidak memiliki kompromi politik dengan pemerintah soal UN. "Biar masyarakat tahu, bahwa PDIP tetap konsisten berjuang untuk rakyat. Namun, di komisi X, kami tak bisa berbuat apa-apa, karena hanya fraksi PDIP dan PKS lah yang tetap konsisten menolak UN sepanjang tidak ada rasa keadilan. Meskipun ada voting, kami tetap kalah," kata Deddy. Menanggapi hal itu, pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Prof Suyatno mengatakan, pada prinsipnya UN jangan mengabaikan mata pelajaran apapun yang ada di sekolah. Pasalnya, selama ini banyak sekolah justru mendidik para siswanya seperti lembaga bimbingan belajar hanya untuk lulus UN. "Karena itu, jangan jadikan UN sebagai patokan utama, di tengah-tengah kualitas pendidikan yang belum merata, dan sistem pendidikan yang belum terbenahi. Kalau UN dijadikan patokan utama kelulusan, ini kan pemerintah seolah-olah tidak percaya dengan pendidikan di sekolah," kata Suyatno di sela-sela jumpa pers Seminar Satu Abad Pendidikan Muhammadiyah.


Media Indonesia, 27 Januari 2010

Rabu, 27 Januari 2010

QUO VADIS UJIAN NASIONAL




Dengan melakukan Ujian Nasional seperti sekarang ini sebenarnya Pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan yang sangat gegabah dan belum pernah dilakukan oleh negara mana pun di dunia ini, yaitu menjadikan standardized test yang high-stakes sebagai exit exams bagi semua jenjang pendidikan yang berlaku di seluruh daerah di Indonesia. Tak ada negara lain di dunia ini yang melakukan hal tersebut. UN yang dijadikan sebagai alat kelulusan, yaitu sebuah perangkat untuk mencegat siswa untuk melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya, yang berlaku bagi semua siswa di jenjang pendidikan SD, SMP dan SLTA di seluruh Indonesia dengan sebuah tes standar yang berisiko tinggi memang tidak pernah dilakukan oleh negara mana pun.Standardized test artinya sebuah tes yang didesain agar semua siswa menjawab pertanyaan yang sama dalam kondisi yang serupa dan jawaban mereka dinilai dengan cara yang sama. Jadi meskipun hanya berlaku untuk daerah tertentu saja, tes tersebut juga disebut Tes Standar. Sebuah tes standar baru layak dilakukan jika siswa yang akan diuji tersebut telah mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan apa yang telah diperolehnya (test what you teach). Setiap tes yang beresiko tinggi haruslah hanya mencakup materi yang PERNAH dipelajari oleh siswa. Tak boleh ada soal tes yang belum pernah dipelajari oleh siswa.
Bagaimana mungkin kita menerapkan sebuah tes yang standar bagi siswa yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang standar? Apa yang mau diuji dan diketahui dengan itu? Darimana pemerintah mengambil kesimpulan bahwa pelayanan pendidikan DI SELURUH Indonesia telah sama standarnya dari Sabang sampai Merauke sehingga layak untuk diuji dengan sebuah tes standar? Ini sungguh gegabah dan di negara lain hal tersebut dapat membuat pemerintah dituntut di pengadilan karena telah melakukan sebuah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Sungguh aneh bahwa tak ada satu pun propinsi di Indonesia yang protes mendapat perlakuan sewenang-wenang seperti ini. Ini juga menunjukkan bahwa pendidikan belum otonom di Indonesia dan daerah juga belum tahu apa yang harus dilakukannya tanpa pusat yang mendiktenya.
Ujian nasional adalah sebuah bentuk tes yang dikategorikan sebagai ’high-stakes’ (berisiko tinggi) karena digunakan untuk menjadi penentu utama dalam kelulusan siswa, dan memiliki konsekuensi besar bagi siswa yaitu tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi jika mereka tidak lulus. Sebuah ujian berkategori ’beresiko tinggi’ jika merupakan satu-satunya penentu kelulusan Meski Depdiknas selalu berkilah bahwa UN hanya 1 diantara 4 syarat kelulusan tapi sebenarnya 3 persyaratan lain boleh dikata tidak berarti dibandingkan dengan syarat nilai UN itu sendiri. Tanpa lulus UN ketiga syarat yang lain tidak ada artinya.
Exit exams artinya adalah sebuah ujian standar (standardized test) yang harus dilalui oleh siswa untuk lulus dari sekolah jenjang SLTA. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa siswa yang lulus sekolah publik memiliki kemampuan dasar yang ditetapkan dan biasanya dalam bidang bahasa dan matematika. Siswa harus lulus ujian ini agar dapat memperoleh sertifikat untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Selama ini hanya siswa SLTA (high-school) yang diwajibkan untuk mengikuti exit exams dan tak ada siswa jenjang SD atau SLTP yang diwajibkan untuk mengikutinya. Siswa SD dan SLTP memang HARUS meneruskan pendidikannya karena itu adalah undang-undang. Umumnya, di negara-negara lain ujian yang bersifat nasional adalah untuk memonitor dan menjaga standar pendidikan dan bukan untuk memvonis siswa. Di Indonesia, ujian nasional (UN) menjadi faktor yang menentukan kelulusan. Siswa yang tidak lulus terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dan ini sudah bertentangan dengan undang-undang.. Dengan UN ini Depdiknas berusaha mencegat siswa kelas 6 dan kelas 9 yang tidak lolos dengan nilai tertentu untuk dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang berikutnya (kelas 7 dan kelas 10). Ini artinya Depdiknas menerapkan ‘exit exams’ bagi jenjang SD dan SMP.
Tak ada negara mana pun di dunia in yang menerapkan exit exams bagi jenjang SD dan SMP. Tak ada negara yang mensyaratkan siswanya harus lulus ujian tertentu sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya karena pendidikan adalah sebuah kewajiban bagi setiap anak. Mereka HARUS meneruskan pendidikannya dan tidak boleh putus sekolah. Jadi bagaimana mungkin sebuah negara yang menetapkan pendidikan sebagai sebuah kewajiban (compulsory) tapi menerapkan ‘exit exams’ bagi siswa SD dan SMP-nya? Bukankah ini justru bertolak belakang dengan prinsip wajib belajar bagi anak-anak kita? . Di Malaysia, ujian nasional tidak menjadi vonis bagi siswa. Ujian tidak menjadi syarat untuk naik ke jenjang pendidikan berikutnya, tetapi untuk melihat pencapaian siswa.
Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh pemerintah dengan UN yang dijadikan sebagai syarat kelulusan (exit exams) bagi siswa SD dan SMP? Dapat ilmu darimanakah gerangan pemerintah kita sehingga mengambil kebijakan yang sangat aneh ini?
Apakah kita perlu menerapkan satu Ujian Nasional (UN), standar tes yang bersifat ‘high-stakes’ untuk semua daerah di Indonesia? Jelas tidak dan jika dilakukan maka itu jelas merupakan sebuah kesalahan fatal. Baik Australia, New Zealand, Amerika Serikat tidak menerapkan satu standar tes yang berlaku untuk semua negara bagiannya karena ide menerapkan satu ujian untuk semua negara bagian saja sudah mendapat tentangan yang begitu besar, apalagi langsung menerapkannya seperti di Indonesia ini. Setiap daerah atau negara bagian mempunyai karakteristik pendidikan yang berbeda-beda dan sungguh tidak mudah untuk menerapkan sebuah bentuk ujian yang adil, layak, perlu dan bermanfaat bagi semua siswa. Jangankan lagi di Indonesia yang disparitas kualitas pendidikannya begitu jauh antara satu daerah dengan daerah lainnya, sedangkan di negara-negara maju pun hal ini menjadi pertentangan. Padahal kalau dipikir semua negara bagian baik itu di AS, Australia, dan New Zealand memiliki standar kualitas yang tidak terlalu jauh berbeda jika mau dibandingkan dengan Indonesia. Sebuah penelitian di AS menyebutkan bahwa ujian yang distandardkan merugikan dan mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan akses terhadap pendidikan, sebab ujian yang distandardkan selalu merefleksikan kultur mayoritas. Dan ini jelas merugikan bagi kultur yang minoritas.
Pemerintah Cina juga tidak melakukan ujian nasional yang berlaku untuk semua daerah di daratan China. Mereka bahkan membuat sebuah keputusan untuk mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah mereka untuk menerapkan ujian kelulusan mereka sendiri, bukan ujian yang dibuat oleh lembaga pendidikan Negara. Pemerintah China juga melarang pemerintah daerah menggunakan jumlah siswa yang diterima di jenjang pendidikan lebih tinggi sebagai ukuran untuk menentukan kualitas sekolah. Artinya bahkan China juga tidak percaya pada rezim ujian nasional sehingga kita jadi tidak tahu sebenarnya Indonesia berkiblat pada negara mana dalam hal ujian nasional ini.
Ujian yang standar memang semestinya hanya digunakan sebagai alat evaluasi dan bukan sebagai alat penentu kelulusan. Pemerintah sudah mengingkari fungsi ujian nasional yaitu untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia dan menjamin mutu pendidikan nasional. Tak ada yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal itu.
Lantas mau dibawa kemana pendidikan kita dengan Ujian Nasional seperti ini?
Satria DharmaKetua Umum Klub Guru Indonesia
http://www.klubguru.com

Info Pendidikan

SIARAN PERS POKSI X FRAKSI PDI PERJUANGAN DPR-RI


Pemerintah dan DPR-RI Harus Kaji Model-Model Evaluasi Pendidikan Secara Komprehensif




Mencermati perkembangan penyelenggaraan UN tahun 2010 dan menyikapi rencana pemerintah yang memaksakan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) / UN ulangan pada tahun 2010:
1. Fraksi PDI Perjuangan berpendapat bahwa Pemerintah telah sengaja mengabaikan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 Mei 2007 yang diperkuat Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 6 Desember 2007 dan Putusan Mahkamah Agung yang menangani perkara nomor 2596K/PDT/2008 pada tanggal 14 September 2009 yang dalam amar putusannya berisi:
a. Pengadilan memerintahkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap diseluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut
b. Pengadilan memerintahkan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional
c. Pengadilan memerintahkan kepada pemerintah untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional
2. Berdasarkan kajian yang mendalam tentang berbagai model evaluasi pendidikan yang pernah dilaksanakan sejak tahun 1972, model evaluasi pendidikan dengan UN seperti yang dilaksanakan saat ini dimana pemerintah kurang mempersiapkan secara baik 8 (delapan) standar pendidikan, kualitas & kompetensi guru, sarana & pra sarana pendidikan, akses informasi yang lengkap di sekolah. Penyelenggaraan UN yang dipakai sekarang ini, telah terjadi kecurangan yang sistematis dan massif, menimbulkan akibat psikologis bagi siswa terutama yang tidak lulus, serta tidak mencerminkan peta mutu pendidikan nasional yang sesungguhnya (palsu). Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah sekolah yang kategorinya berkualitas tetapi banyak siswanya yang tidak lulus, bahkan ada sekolah yang seluruh siswanya tidak lulus, namun disisi lain ada sejumlah sekolah yang kategorinya kurang berkualitas justru bisa meluluskan seluruh siswanya,
3. Pemerintah tidak boleh menutup mata dan harus jujur mengakui bahwa ada masalah yang serius dibalik penyelenggaraan UN saat ini. Penyelenggaraan UN saat ini, selain mendapatkan reaksi keras, bahkan penolakan dari masyarakat, guru, orang tuan siswa, juga dari pakar – pakar pendidikan. Lebih jauh lagi, polemik tentang kebijakan UN telah masuk ke ranah politik yang ditandai dengan polemik yang berkepanjangan antara pemerintah dengan DPR membuat hubungan pemerintah dan DPR kurang produktif & kurang sehat, dan mengakibatkan adanya fragmentasi politik di DPR dalam urusan dukung mendukung mengenai kebijakan UN tersebut. Bahkan pimpinan partai politik telah malakukan intervensi secara langsung untuk dukung mendukung kebijakan UN ini di DPR. Selain itu, polemik kebijakan UN juga telah masuk ke ranah hukum yang ditandai dengan adanya sekelompok gugatan masyarakat ke pengadilan negeri, bakhan sampai masuk ke Mahkamah Agung sehingga penyikapan kebijakan UN tidak lagi murni akademik dan ilmiah, namun telah terkontaminasi kepentingan politik dan hukum, Padahal Evaluasi pendidikan seharusnya bersih dari campur tangan kepentingan politik dan hukum agar tujuan pendidikan nasional dapat diwujudkan dengan baik dan dapat diterima masyarakat, serta dapat menghindari keadaan dimana akibat polemik kebijakan UN ini, setiap tahun DPR harus berhadapan dengan masyarakat yang selalu protes. Adalah kurang arif dan bijaksana kalau polemik kebijakan UN ini dibiarkan terus terjadi setiap tahun ketika akan dilaksanakan UN tersebut.
4. Spirit yang dapat ditangkap dari aspirasi masyarakat, baik orang tua/wali murid, guru, maupun para pakar pendidikan adalah perlunya perubahan mendasar yang diharus dilakukan pemerintah dalam mengambil kebijakan UN. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan UN sepatutnya responsif dan membuka diri terhadap ide, gagasan dan pandangan dari masyarakat guna mendorong partisipasi masyarakat dalam memajukan pendidikan nasional.
5. Payung hukum Penyelenggaraan UN adalah PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Menurut Fraksi PDI Perjuangan, PP No. 19 tahun 2005 perlu dikaji ulang, khususnya yang berkaitan dengan substansi evaluasi pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 68 dan 72 PP tersebut karena bertentangan dengan peraturan diatasnya, yaitu Pasal 58, 59 dan 61 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bertitik tolak dari keinginan kuat pemerintah yang akan menyelenggarakan UN tahun 2010, dan didorong kesamaan suasana bathin masyarakat yang resah menghadapi UN tahun 2010, maka Fraksi PDI Perjuangan menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak UN tahun 2010 jika pemerintah menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan dan pemerintah bersikeras tidak menjalankan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tersebut diatas
2. Model evaluasi UN seperti yang saat ini terjadi harus dihentikan agar tidak terjadi lagi keresahan yang berkepanjangan dimasyarakat, perguruan tinggi, LSM, sekaligus mengakhiri polemik politik antara pemerintah dan DPR, serta memastikan dunia pendidikan tetap ilmiah dan akademis dengan tidak masuk dalam ranah hukum dan politik.
3. Mendesak pemerintah segera melakukan revisi PP No. 19 tahun 2005 agar disesuaikan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Mendesak DPR dan pemerintah segera membentuk Panitia Kerja (Panja) guna melakukan:
a. Kajian secara menyeluruh mengenai berbagai model evaluasi pendidikan yang lebih ideal, termasuk didalamnya keberadaan UN sekaligus merevisi PP 19 tahun 2005.
b. Merumuskan Model Evaluasi Pendidikan yang dapat dimanfaatkan untuk pemetaan mutu pendidikan secara nasional, regional, dan lokal; menentukan kelulusan siswa.
c. Merumuskan kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional melalui pendekatan alokasi anggaran, sarana & pra sarana, dan guru
5. Guna menghasilkan kajian yang berkualitas dan aspiratif, maka Panja perlu melibatkan partisipasi masyarakat seperti pakar pendidikan, guru (PGRI), dosen, tokoh, dan unsur masyarakat lainnya.

Senin, 25 Januari 2010

Info Olahraga

KONI Anggarkan Rp 53 M




Dana untuk Pelatnas Proyeksi Asian Games XVI dan SEA Games XXVI JAKARTA - Tak ada uang tak ada prestasi. Demikian juga halnya dengan pembinaan olahraga tanah air. Menyambut Asian Games XVI dan SEA Games XXVI yang akan diselenggarakan tahun ini dan tahun depan, KONI menganggarkan dana Rp 53 miliar. Proyeksi anggaran itu telah dikomunikasikan KONI ke pemerintah sebagai pihak yang selama ini menjadi sumber pendanaan utama pembinaan olahraga. ''Meski sudah mengajukan, hingga kini kami belum mendapatkan kabar berapa yang akan disetujui,'' kata Hendardji Supandji, wakil ketua umum I KONI, kemarin.Jika dibandingkan dengan dana pelatnas menjelang SEA Games XXV, dana yang diajukan KONI itu jauh lebih besar. Saat itu, KONI mendapatkan Rp 20 miliar. Namun, Hendardji menegaskan, rancangan anggaran itu tidak berlebihan. Sebab, selain digunakan untuk menyambut dua even, target yang diusung kontingen Indonesia jauh lebih berat. Di Asian Games XVI, Indonesia menargetkan menembus 20 besar. Itu lebih baik daripada yang dicapai di Asian Games 2006 di Doha, Qatar. Pada Asian Games empat lalu tersebut, kontingen Merah Putih menempati posisi ke-22 dengan perolehan dua medali emas, empat perak, dan 14 perunggu.Di SEA Games 2011, Indonesia telah menancapkan target menjadi juara umum. Target itu seiring dengan status Indonesia sebagai tuan rumah. Pada SEA Games XXV 2009 Laos, Indonesia berada di peringkat ketiga dengan koleksi 43 medali emas, 53 medali perak, dan 74 medali perunggu.''Harapan kami tentu pengajuan itu disetujui penuh. Dengan begitu, pelatnas bisa dijalankan secara maksimal sesuai dengan yang kami programkan,'' ujar Hendardji yang juga komandan pelatnas.Untuk pelatnas kali ini, KONI memang telah menjadwalkan program itu efektik dijalankan mulai 1 Februari mendatang. Setiap cabang diberi keleluasaan untuk menentukan tempat latihan. Selain itu, setiap cabang diberi kesempatan menjalankan beberapa uji coba berskala nasional maupun internasional.Setiap cabang akan diberi waktu untuk melakoni dua kali uji coba internasional dan sekali uji coba di dalam negeri. ''Agenda itu tentu saja membutuhkan dana yang besar,'' tandasnya. Hendardji juga menyampaikan bahwa 16 di antara 17 cabang yang diproyeksikan ke Asian Games XVI telah menyerahkan daftar nama atlet. Satu-satunya cabang yang belum menyerahkan nama atlet adalah dayung.''Namun, mereka (dayung) sebenarnya sudah memberikan daftar nama atletnya. Tapi, kami perlu membicarakan lagi dengan mereka. Hingga kini, 98 atlet yang sudah terdaftar,'' terangnya.


Jawa Pos, 22 Januari 2010

Kamis, 21 Januari 2010

Info Olahraga

Utut Adianto : Ada Yang Tidak Setuju Pelaksanaan SEA Games XXVI di Empat Kota Wajar

Anggota Komisi X DPR RI, Utut Hadiyanto menilai respon mantan Menegpora Adyaksa Dault tentang kurang setujunya Sea Games ke-26 tahun 2011 di Indonesia akan dilaksanakan di empat kota, sangatlah wajar. Utut Hadiyanto kepada RRI mengatakan, hal ini dikarenakan beliau melihat dari segi pembiayaan yang akan membengkak di pesta olahraga 2 tahunan itu serta adanya kompromi politis.Grand Master catur tersebut menambahkan, terlepas dari permasalahan tempat pernyelenggaraan Sea Games nanti, diharapkan Indonesia mampu meraih cita citanya menjadi Juara Umum di tahun 2011. Kurang lebih 37 cabang olahraga yang akan dipertandingkan mampu meraih target maksimal demi merah putih.



RRI, 29 Desember 2009

Info Olahraga

Indonesia Diharap Jadi Juara Umum

SEA Games XXVI



Indonesia diharapkan keluar sebagai juara umum dalam perhelatan olahraga se-Asia Tenggara ke XXVI yang dilangsungkan di Indonesia pada 2011 mendatang.Grand Master yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Komisi X bidang olahraga, Utut Adianto optimistis tim Indonesia mampu mengalahkan negara-negara Asia. "Sebagai tuan rumah, Indonesia harus menargetkan menjadi juara umum," ungkap Utut kepada Tempo di Gedung DPR, Rabu (20/1).Utut memastikan Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Sea Games akan dimulai awal Februari. Namun kesiapan itu tergantung kepada induk-induk olahraga yang dinaungi Komite Olahraga Nasional Indonesia. "Bila belum siap, Pelatnas menunggu kesiapan Koni," tuturnya.Dalam menghadapi Sea Games mendatang, Pemerintah sudah melansir anggaran lebih dari Rp 1,5 triliun kepada DPR. Namun anggaran tersebut, menurut Utut masih masih perlu digodok lebih jauh dan terperinci. "Harus ada rincian yang jelas, sudah ada panitia khusus yang dibentuk untuk mengawasi anggaran," katanya. Untuk kejuaraan Sea Games XXVI pada 2011, sebanyak 37 cabang olahraga siap dilombakan. Tim Indonesia dipastikan mengikuti seluruh cabang olahraga. "Meski belum tahu cabang apa saja yang dilombakan, Indonesia dipastikan mengikuti semua cabang," tutupnya.


Tempointeraktif, 20 Januari 2010

Jumat, 15 Januari 2010

PT Batal Tangani Soal UN

Perguruan tinggi (PT) batal menangani soal-soal ujian nasional (UN) 2010. Dalam prosedur operasional standar ujian nasional 2010 disebutkan, pengadaan naskah soal ujian nasional dilakukan perguruan tinggi yang dianggap mampu dan kredible.Namun ternyata tak ada perguruan tinggi yang sanggup dan berani menangani proses pengadaan soal ujian nasional.Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Prof Mungin Eddy Wibowo mengemukakan pengadaan soal ujian nasional dilakukan sama seperti tahun lalu. Pengadaan soal ditangani dinas pendidikan provinsi sebagai panitia penyelenggara ujian nasional tingkat provinsi.“Sampai saat ini, perguruan tinggi menyatakan hanya sanggup untuk melakukan proses pemindaian lembar jawab ujian nasional tingkat SMA dan MA. Juga tetap mengawasi proses penyelenggaraan ujian nasional dengan membentuk tim pengawas independen (TPI),” kata mantan ketua BSNP itu.Penggandaan soal ujian nasional oleh panitia penyelenggara ujian nasional tingkat provinsi dilakukan dalam dua opsi, yakni penunjukan langsung dan lelang terbuka. Proses lelang terbuka untuk mekanisme penggandaan soal ujian nasional dilakukan untuk tingkat SD dan SMP. “Untuk tingkat SMA kemungkinan dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung oleh BSNP,” kata Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin) itu.BSNP akan menginventarisasi perusahaan percetakan di daerah yang sesuai dengan kualifikasi dan perusahaan percetakan yang sesuai dengan kriteria. BNSP saat ini juga sedang melakukan proses penyusunan soal. Dia memperkirakan akhir Januari sudah selesai untuk segera diujicobakan di sekolah berbagai tingkatan.

Suara Merdeka, 14 Januari 2010

Info Olahraga

PSSI Ingin Naturalisasi Pemain



Menyusul serangkaian hasil buruk yang diraih timnas senior dan U-23, PSSI mulai membuka pintu bagi pemain di luar Indonesia untuk membela negara leluhurnya di masa mendatang.Langkah PSSI itu guna mendongkrak prestasi persepakbolaan nasional. Namun, PSSI hanya akan membuka pintu bagi pemain muda usia. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid mengatakan, pemain yang dibidik untuk menjadi pemain naturalisasi masih berusia di bawah 21 tahun. Pemain tersebut dibidik untuk masuk timnas U-23 yang akan diturunkan di SEA Games 2011 guna memenuhi target meraih medali emas. ”Kami telah menyiapkan tim untuk memantau dan menyeleksi pemain. Banyak sekali yang berpotensi. naturalisasi pemain merupakan salah satu opsi untuk meningkatkan kemampuan timnas selain memaksimalkan pembinaan,” ujar Nurdin Halid di sekretariat PSSI, kemarin.Menurut Nurdin, berdasarkan hasil pengumpulan data sementara, saat ini pemain yang mempunyai darah Indonesia tercatat lima orang di Australia dan belasan lainnya di Eropa, sebagian besar di Belanda.PSSI sedang berupaya mendekati pemain itu agar bersedia membela panji Merah Putih. Namun Nurdin belum mengungkapkan nama-nama pemain yang sedang dibidik.Otoritas sepak bola nasional itu berharap para pemain yang namanya sudah berada dalam daftar bisa segera memberikan jawaban agar tim dapat dibentuk secepat mungkin.


Suara Merdeka, 15 Januari 2010

Info Pendidikan

Pengangguran Sarjana, Kesalahan
Perguruan Tinggi ...?

ANGKA pengangguran terdidik, terutama sarjana makin meningkat tajam. Para sarjana merupakan pengangguran potensial, namun perlu investasi besar untuk menciptakan lapangan kerja bagi mereka. Nyaris tak ada lowongan kerja level menengah yang tak dibanjiri sarjana. Kondisi ini memprihatinkan. Sementara krisis keuangan global makin membuat para sarjana kesulitan kesempatan kerja.Data Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, perguruan tinggi (PT) di Indonesia tahun ini menciptakan 900.000 sarjana menganggur. Tiap tahun rata-rata 20% lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran. Siapakah yang patut disalahkan dengan tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana seperti saat ini? Dengarlah uraian Dekan Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata Dr Andreas Lako mengungkapkan, setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi tingginya pengangguran mahasiswa. Pertama adalah faktor eksternal, yaitu menyempitnya lapangan kerja yang ada, pesatnya lulusan PT tidak diimbangi dengan permintaan dari dunia usaha. Kedua dari PT, kebanyakan PT tidak mempersiapkan para lulusan untuk memiliki kompetensi yang memadai dan menjadikan mahasiswa mandiri. Dan, yang terakhir adalah faktor internal, yaitu dari sarjana itu sendiri, ketika kuliah mereka justru tidak memanfaatkan waktu untuk mengambil ilmu semaksimal mungkin. ’’Mereka hanya mengejar nilai tanpa memikirkan pengalaman. Padahal, kompetensi seseorang dibentuk dalam proses yang lama dan berkesinambungan,’’ terangnya.Faktor kedualah yang memberikan andil paling besar dalam memperbanyak pengangguran mahasiswa. ’’Banyak PT tetap beroperasi meskipun tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai, sehingga tidak dapat memberikan kompetensi mahasiswa. PT menjadi sebuah industri, tidak menerima kebutuhan industri, tidak mampu mendidik mahasiswa yang berkualitas,’’ ungkapnya.Solusi yang utama adalah PT harus dapat mengevaluasi diri, sehingga dapat menyiapkan sarjana menjadi pribadi yang percaya diri sehingga memiliki jiwa kewirausahaan. ’’Saat ini mendapat pekerjaan layak itu sulit, sehingga banyak lulusan perguruan tinggi yang asal kerja. Bagi mereka yang penting kerja dulu tanpa memikirkan kompetensi. Untuk itulah akreditasi PT harus diperhatikan, pemerintah harus tegas menegur perguruan tinggi yang hanya mencetak sarjana pengangguran,’’ tandasnya.Menurut Dr Andreas Lako, yang sangat ironis saat ini adalah hasil salah satu survei dari Direktorat Pendidikan Tinggi yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi pendidikan, justru semakin tinggi pengangguran yang terjadi. ’’Ada sinyalemen kegagalan dalam proses pendidikan kita. Padahal, untuk menjadi lulusan yang siap kerja perlu tambahan keterampilan di luar bidang akademik, terutama yang berhubungan dengan kewirausahawan. Memang saat ini banyak bursa kerja, tetapi bursa kerja hanya membantu sedikit mengurangi pengangguran sarjana,’’ terangnya.Peluang Emas Lulusan perguruan tinggi atau kalangan muda pencari kerja tentu tak akan melewatkan tawaran peluang emas berkarier dari bursa kerja. Setiap ada bursa kerja, setiap itu pula ratusan bahkan ribuan sarjana baru memadati ruangan bursa kerja.Andhika Putra Kusuma ST, mahasiswa lulusan Teknik Mesin dan Industri UGM menilai, pusat-pusat pengembangan karier di kampus-kampus tidak cukup hanya menggelar bursa kerja. ’’Pengembangan technical skill dan soft skill bagi para mahasiswa juga memegang peran tersendiri. Technical skill misalnya, antara lain kemampuan berbahasa asing. Sementara itu, pengembangan soft skill contohnya, adalah menggelar pelatihan bagi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, presentasi, negosiasi, dan leadership,’’ ujarnya.Andhika yang juga lulusan baru UGM itu memang sesekali mencoba mengikuti bursa kerja, tetapi ke depan ia berencana melakukan wirausaha untuk mengatasi pengangguran sarjana. ’Saat ini yang diperlukan adalah mengubah mindset dari sarjana. Saat ini berkembang pemikiran bahwa seseorang dianggap bekerja apabila menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai kantoran, sedangkan apabila membuka toko, bengkel, warung, servis hp, sablon (berwirausaha), tidak dianggap bekerja walau terkadang penghasilannya per bulan lebih tinggi daripada gaji pokok seorang PNS,’’ ungkapnya.Bagi Andhika, sarjana angkatan kerja perlu diberi pemahaman bahwa bekerja tidaklah harus di sektor formal. Keuntungan dari pembentukan mindset kewirausahaan adalah, selain menumbuhkan semangat berwirausaha, juga akan mampu menjadikan pola hidup sarjana lebih efisien dalam mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, lebih disiplin, tertib, kreatif, inovatif, produktif, tidak mudah menuntut dan mengeluh dalam menghadapi permasalahan sebagaimana karakter seorang wirausaha.Bagaimanapun, pendidikan adalah sarana mentrasformasi kehidupan ke arah yang lebih baik. Pendidikan pun menjadi standar stratifikasi sosial seseorang. Orang yang berpendidikan akan mendapatkan penghormatan di mata publik. Akibatnya, orang pun berbondong-bondong mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, mengingat dunia terus melaju di era persaingan global, dan Indonesia merupakan bagian yang ikut andil di dalamnya.Namun, ternyata justru banyak sarjana menganggur. Ada apa dengan pendidikan di negeri ini. Apakah ini memang benar sinyalemen dari kegagalan pendidikan kita? Berbagai cara untuk mengatasi pengangguran sarjana harus dilakukan pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha serta masyarakat, agar ada solusi yang baik dan tepat atas masalah ini.
Suara Merdeka, 9 Januari 2010

Info Olahraga

Anggaran SEA Games 2011 Capai
Rp. 1,65 Triliun



Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallaranggeng menyatakan anggaran untuk penyelenggaraan SEA Games (SEAG) XXVI/2011 sebesar Rp1,575 triliun. Anggaran tersebut akan dialokasikan bagi empat daerah yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan meliputi Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, Bandung (Jawa Barat), dan Semarang (Jawa Tengah). "Anggaran telah diusulkan kepada Menteri Keuangan melalui mekanisme APBN-P. Sebagai tuan rumah, saya berharap ini dapat meningkatkan harkat bangsa, dan kesempatan untuk kebangkitan prestasi," ujar Menpora di sela-sela Rapat Kerja dengan Komisi X DPR-RI di Jakarta, Kamis (14/1). Menurut Menpora alokasi anggaran tersebut terbagi dalam lima elemen yaitu sebagai persiapan SEAG sebesar Rp75 miliar, renovasi prasarana sebesar Rp300 miliar, pengadaan sarana/perlengkapan/peralatan pertandingan (Rp200 miliar), pembinaan kontingen nasional (Rp500 miliar), serta pelaksaaan SEAG (Rp500 miliar). Kendati demikian, Menpora menjelaskan anggaran tersebut belum termasuk bonus atlet dan pelatih yang bakal dipersiapkan untuk 25 hingga 35 persen medali. "Diperkirakan mencapai tiga kali lipat yang diberikan untuk peraih medali di SEAG Laos," papar Andi. Sementara itu, anggota Komisi X Fraksi PDI-P Utut Adianto menjelaskan anggaran yang dipersiapkan untuk SEAG 2011 sangat cukup untuk menopang kebutuhan PB untuk melakukan persiapan atlet masing-masing. "Sebelumnya anggaran yang diusulkan dari KONI dan PAL mencapai Rp200 miliar. Kini dinaikan menjadi Rp300 miliar," ujarnya. Anggaran tersebut, menurut Utut, harus dapat menopang realisasi target sebagai juara umum. Apabila tidak, DPR akan meminta pertanggung jawaban. "Tidak main-main lagi. Prestasi harus diraih karena perolehan medali juga terus turun," tandasnya.


Media Indonesia, 15 Januari 2010

Selasa, 12 Januari 2010

Info Pendidikan

PELAJARAN CATUR



SEJAK 2006, olah raga catur secara resmi masuk dalam salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) dan Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas). Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan, namun ada hal aneh yang mungkin luput dari perhatian pemerintah. Dalam kenyataannya olahraga catur belum dimasukkan dalam kurikulum resmi sekolah formal. Bahkan, di lembaga pendidikan tinggi pencetak guru olahraga (FPOK), tidak ada mata kuliah khusus yang memelajari catur. Padahal di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Rusia, Zaire, dan yang kemudian menyusul belakangan adalah Jepang, sudah lama memasukkan catur dalam kurikulum pendidikannya.Tujuan catur dimasukkan dalam kurikulum sekolah bukanlah semata-mata untuk mencetak atlet dan meraih prestasi catur, tapi lebih dari itu. Di balik permainan catur terkandung nilai-nilai positif yang luar biasa. Di antaranya belajar menganalisis dan memecahkan masalah, belajar mengambil keputusan yang konsisten, meningkatkan kecerdasan dan daya ingat, meningkatkan kepercayaan diri, melatih disiplin, mengasah logika, belajar menerima kemenangan dan kekalahan (sportif), belajar merencanakan, mengatur strategi, dan mempunyai visi ke depan untuk mencapai tujuan.Luar SekolahSelama ini, di Indonesia, catur dipelajari anak-anak di luar pelajaran sekolah. Mereka belajar bermain catur dari teman, tetangga, kakak dan orang tuanya. Beberapa anak juga ada yang dimasukkan ke klub catur atau sekolah catur dengan tujuan utama untuk meraih prestasi yang baik dalam pertandingan catur.Kenyataan itu menggambarkan tidak semua anak mendapat kesempatan yang sama dalam belajar dan bermain catur. Jadi, pada akhirnya tidak semua anak bisa bermain catur. Lain halnya, jika olahraga catur dimasukkan dalam kurikulum sekolah, hampir dipastikan semua anak bisa bermain catur dan bisa mendapatkan manfaat positif dari olahraga tersebut.Yang perlu kita ingat, bermain catur bukan sekadar untuk menyalurkan hobi dan mendapatkan prestasi, tapi lebih dari itu bisa membentuk anak menjadi pribadi yang lebih unggul.Mengingat nilai-nilai positif yang terkandung dalam permainan catur, sudah saatnya pemerintah untuk segera memasukkan cabang olahraga ini dalam kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah formal di seluruh Indonesia. Semoga !


Suara Merdeka, 11 Januari 2010

Senin, 11 Januari 2010

Info Pendidikan

DPR Panggil Mendiknas


Penolakan Ujian Nasional

Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) Dedi Gumelar (kiri), Puti Guntur Soekarno (tengah) dan Utut Ardianto berbincang sebelum memberikan penjelasan tentang ujian nasional di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (8/1).

[JAKARTA] DPR menolak penyelenggaraan ujian nasional (UN) tahun 2010, sebelum pemerintah melaksanakan amar putusan Mahkamah Agung (MA), yang isinya menolak kasasi pemerintah soal UN.

DPR juga menyesalkan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh, yang bersikeras akan menyelenggarakan UN, walau sudah diingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengkaji kembali kebijakan UN sebagai satu-satunya alat ukur dalam pendidikan nasional.

"Kami akan memanggil Mendiknas Senin (11/1), meminta klarifikasi atas pernyataan dia yang bertentangan dengan pernyataan Presiden. Kami juga akan memohon fatwa MA, untuk memberikan penegasan, apakah pemerintah telah melaksanakan amar putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait UN," kata anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P), Dedi Gumelar kepada pers di Jakarta, Jumat (8/1).

Dedi mengatakan, pihaknya merasa gembira dengan pernyataan Presiden soal mengkaji kembali kebijakan UN. Tetapi, terperangah ketika mendengar pernyataan Mendiknas, yang menafsir lain pernyataan Presiden Yudhoyono. "Karena itu, kami mendesak Mendiknas melaksanakan putusan MA dan melaksanakan apa yang dikatakan Presiden," katanya.

Anggota Komisi X DPR dari FPDI-P, Puti Guntur Soekarno mengatakan, pemerintah harus memperhatikan aspek hukum sebelum menerapkan UN. "Pengadilan memerintahkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum mengeluarkan kebijakan menggelar UN," katanya.

Utut Adianto dari Komisi X DPR mengatakan, pemerintah harus realistis melihat kondisi sistem pendidikan kita di daerah. Ketimpangan pendidikan masih terjadi di mana-mana. Program komputerisasi yang dicanangkan Mendiknas, katanya, terkesan kejar target, karena ada sekolah yang tidak punya listrik, tetapi mendapat bantuan komputer. "Ini kan tidak realistis," katanya.

Serahkan ke Pendidik

Sementara itu, Manajer Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan di Jakarta, Sabtu (9/1), mengatakan, UN boleh dilaksanakan, dengan syarat hanya sebagai pemetaan, bukan tolok ukur kelulusan siswa. Penentuan kelulusan diserahkan kembali kepada pendidik, melalui ujian akhir sekolah. Karena merekalah yang mengetahui capaian anak sepanjang tiga tahun di sekolah.

Bila pemerintah tetap menggelar UN dengan alasan anggaran sudah dipersiapkan, kata dia, silahkan saja. Namun, tidak boleh dipakai sebagai syarat kelulusan siswa. Alasannya, kemampuan siswa hanya diketahui oleh pendidik, bukan Mendiknas. Selain itu, untuk mengukur capaian siswa selama tiga tahun, harus secara holistik. "Silakan saja kalau tujuannya untuk pemetaan itu tanggung jawab pemerintah, bisa dilakukan 2-3 tahun sekali. Tetapi, jangan rampas hak guru dan pemborosan anggaran triliunan rupiah," katanya.

Pembangkangan Mendiknas terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) yang bersikukuh melaksanakan UN 2010, kata Ade, mengajarkan pada pendidik dan anak didik, bagaimana cara melawan hukum. Sikap demikian tidak sepatutnya ditunjukkan oleh Mendiknas.

Menanggapi pernyataan Mendiknas yang menyatakan putusan MA tidak memberhentikan UN, menurutnya, karena Mendiknas takut kehilangan proyek UN yang sudah siapkan. "Lebih utama selamatkan anggaran ketimbang anak. Makanya, kami juga minta anggaran UN perlu diaudit khusus. Ini jelas, Mendiknas menggunakan pendekatan politis bukan lagi pendidikan," ucapnya.

Terkait tujuan UN untuk pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan, katanya, tidak jelas dan diragukan. Sebab, sudah tujuh tahun dilaksanakan pemetaan, tetapi hingga saat ini tidak jelas hasilnya, tindak lanjutnya seperti apa. Depdiknas tidak terbuka kepada publik. Demikian pula dengan peningkatan kualitas, disangsikan apakah berhasil atau malah makin merosot.

"Asumsi pemerintah tersebut konyol. Logika sederhananya, kalau mutu bagus, kualitas pelayanan juga harus bagus. Masalah ini sudah berulang-ulang diperingatkan publik, tetapi pemerintah tidak peduli," jelasnya.

Suara Pembaruan, 10 Januari 2010

Info Parlemen

Lebih Diplomatis


Utut merupakan pecatur yang sukses menggabungkan pendidikan dan olah raga dengan misi mengangkat kesejahteraan.

Utut Adianto saat ini telah berubah. Semenjak menjadi wakil rakyat dan duduk di Komisi X DPR RI, pecatur terbaik Indonesia itu tutur sapanya lebih diplomatis. Tema obrolan pun kini telah berbau-bau politik, hal yang sangat jarang semasa dia masih berkiprah di dunia catur.

Meskipun demikian, komisi tempat dia bernaung masih sangat memungkinkan bagi dirinya untuk tetap inten di dunia olah raga. Sebagai anggota komisi yang membidangi olah raga dan pendidikan, Utut kini justru merasa semakin dekat dengan dua dunia itu karena memang dia memiliki misi untuk memperjuangkannya melalui kiprahnya di Senayan.

Dua bidang itu kini semakin dekat dengan Utut. Olah raga jelas karena statusnya sebagai pecatur terbaik Indonesia. Di tingkat internasional Utut masih tercatat sebagai satu dari lima mahaguru FIDE (Federation Internationale des Echecs).

Sedangkan dunia pendidikan, bidang ini sebenarnya sudah menjadi salah satu perhatian terbesarnya sebelum masuk Komisi X. Sekarang Utut berkesempatan lebih besar lagi turut andil dalam memajukan pendidikan Indonesia melalui kiprahnya di Komisi tersebut.

Untuk olah raga, perhatian terbesar Komisi X saat ini tengah tercurah pada kesejahteraan atlet. Sisi paling krusial bagi kehidupan atlet yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.

“Kami dari Komisi X sudah bertemu Menegpora Andi Mallarangeng dan mendesaknya supaya atlet-atlet berprestasi di SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade, diberikan uang pensiun. Tentunya besarannya berbeda, bergantung pada tingkatan kompetisi di mana atlet berprestasi,” ungkap Utut saat ditemui di ruang kerjanya di DPR beberapa waktu lalu.

Menurut pria bergelar Grand Master International (GMI) itu, dasar pemberian kesejahteraan bagi atlet telah tertulis dalam UU No 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) Bab 19 Pasal 86 mengenai insentif pemerintah terhadap olahragawan. ”Namun dalam prakteknya sangat kurang dilaksanakan sehingga diperlukan Peraturan Presiden,” ucap Utut.

Soal pendidikan, Utut telah mengambil peran sebagai individu yang memberikan tempat tertinggi untuk bidang yang sangat penting ini. Contoh rintisannya melalui Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA). Jumlahnya sekarang mencapai 18 dan tersebar di berbagai kota di Indonesia, dan yang terbesar berada di Kota Bekasi.

“Pendidikan nomor satu. Keberhasilan bangsa tak lepas dari pendidikan multiguna. Dengan 20 persen APBN diberikan untuk pendidikan, di mana pada tahun 2009/2010 jumlahnya 204 triliun rupiah dari 1.019 triliun rupiah, masyarakat makin berharap banyak dari pemerintah. Terutama untuk penyediaan prasarana yang baik, pendidikan terjangkau, dan tentunya pendidikan itu sendiri menghasilkan orang-orang yang siap kerja,” papar Utut.

Dia sendiri sukses menggabungkan pendidikan dan olah raga dengan misi mengangkat kesejahteraan. “Banyak pecatur dari sekolah saya yang datang dari keluarga tidak mampu. Kini ada di antara mereka yang sudah menjadi pecatur berprestasi. Dari situ mereka mampu hidup lebih sejahtera,” ucap Utut yang karena kesibukannya di DPR tak lagi memiliki cukup waktu untuk turun langsung mengajar di SCUA.
Sekarang porsi waktunya lebih banyak tersita untuk aktivitas di Gedung wakil rakyat di Senayan. Biasanya bekerja dari pukul 09.00 WIB hingga 23.00 WIB dengan dikepung sejumlah rapat komisi. Paling lama dia pernah mengikuti rapat dari pukul 08.00 WIB hingga 23.30 WIB.

“Tak seperti pandangan masyarakat kalau anggota DPR berleha-leha. Butuh kerja keras, fisik yang kuat, dan konsentrasi. Saya saja yang terbiasa dengan olah raga konsentrasi, yang biasanya duduk tujuh sampai sembilan jam saat bertanding, bisa tertidur beberapa detik saat mengikuti rapat yang terlalu lama,” aku Utut.

Oleh karena itu, ayah satu putri ini menganggap hal manusiawi kalau ada anggota DPR tertidur saat rapat. Apa yang dilihat masyarakat sebagai bentuk kemalasan. “Setelah berada di dalam lingkup DPR, saya menganggapnya manusiawi karena kecapekan, bukan kesengajaan. Bayangkan, rapat begitu lama. Apalagi ditambah kurang bagusnya sirkulasi udara di ruang kura-kura yang biasa dipakai untuk rapat,” jelas pria yang pernah membuat statistik mengenai jumlah anggota dewan yang tertidur pada sebuah rapat paripurna yang dihadiri sekitar 420 orang itu. Dalam statistiknya, Utut mencatat hanya 10 sampai 15 anggota dewan yang tertidur.

Lebih Cair
Untuk rapat Komisi X sendiri, menurut Utut, lebih rileks dan cair karena kehadiran sejumlah artis seperti Eko Patrio, Primus Yustisio, Dedi “Miing” Gumelar, Venna Melinda, Angelina Sondakh, Komar, dan Guruh Soekarno Putri.

Utut yang merupakan satu-satunya olahragawan yang menjadi anggota DPR ini mengaku menikmati berbagai tugas dan aktivitasnya, termasuk hal positif lainnya seperti imun dari aturan 3 in 1 di jalan, mendapatkan pengawalan sesuai standar DPR, ditempatkan di ruang VIP airport, kemudahan mengurus visa, dan dalam kondisi tertentu didahulukan meski belum pernah digunakannya.

“Saya orang yang sangat disiplin. Saat ini masih beradaptasi dari olahragawan menjadi politisi. Belum tune in 100 persen. Layaknya pemain bola di bangku cadangan. Saya anak bawang yang pengalamannya masih sangat hijau,” akunya.

Apa yang dijalaninya kini, Utut merasa sangat bangga. Pasalnya dia bernaung dan menjadi kader partai yang tidak terkontaminasi dengan kekuasaan. “Sekarang saya semakin bangga menjadi kader PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) setelah di DPR karena betul-betul memperjuangkan bangsa dengan segala upaya. Clear soal mayoritas dan minoritas, perbedaan latar belakang, agama, dan lainnya,” ujarnya.

Koran Jakarta, 10 Januari 2010

Info Pendidikan


Nilai Kelulusan Diusulkan Proporsional



Nilai kelulusan siswa SMP/SMA sederajat harus proporsional. Ujian nasional jangan dijadikan sebagai penentu utama kelulusan siswa. Aspek lain, seperti kemampuan siswa selama belajar, ujian sekolah, dan perilaku siswa, perlu dipertimbangkan secara proporsional.

”Jangan lagi UN jadi yang paling besar bobotnya dalam penentuan kelulusan siswa. Penilaian hasil evaluasi itu mesti saling melengkapi, bukan saling menjatuhkan” kata S Hamid Hasan, ahli evaluasi pendidikan dari Universitas Pendidikan Bandung, yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (10/1).

Menurut Hamid, sinyal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyempurnakan UN merupakan angin segar untuk keluar dari berlarut-larutnya masalah UN yang menghambat penyediaan layanan pendidikan berkualitas.

”Asal jangan sekadar untuk pernyataan politik. Kita harus benar-benar memikirkan kualitas lulusan seperti apa yang ingin dihasilkan dari sekolah? Tentu yang berkualitas secara keseluruhan, bukan hanya karena mengejar nilai UN,” jelas Hamid.


Peta pendidikan


Pendapat senada dikemukakan Elin Driana, Koordinator Education Forum. Meskipun UN ulang merupakan salah satu kebijakan yang baik untuk siswa, persoalan UN tidak berhenti di masalah peningkatan teknis pelaksanaan.

”Penyelenggaraan UN yang berjalan selama ini perlu dievaluasi dan disempurnakan. Pemerintah juga harus memperlihatkan peta pendidikan saat ini serta intervensi apa yang akan dilakukan pemerintah untuk sekolah-sekolah yang belum mencapai standar,” kata Elin.

Secara terpisah, Fraksi PDI-P Komisi X DPR mendesak supaya penentuan kelulusan siswa dinilai dengan mengombinasikan keempat syarat dengan pembobotan dan tidak saling memveto. ”Untuk teknisnya kita serahkan ke Kementerian Pendidikan Nasional,” kata Dedy S Gumilar, anggota Komisi X DPR.

Untuk penyelenggaraan UN tahun 2010, kata Dedy, pemerintah mengajukan dana senilai Rp 562 miliar.

Mengenai penilaian kelulusan siswa dengan pembobotan keempat persyaratan, Hamid mengatakan bisa saja dilakukan untuk jangka pendek, dengan tetap tidak menjadikan UN faktor terbesar penentuan kelulusan UN. Tetapi yang ideal, UN mesti dipakai betul sebagai pemetaan pendidikan dan menjadi umpan balik bagi sekolah yang dibantu penuh pemerintah untuk meningkatkan layanan pendidikan.


Kompas, 11 Januari 2010

Jumat, 08 Januari 2010

Info Pendidikan

UN Jangan Memveto Kelulusan Siswa

Pelaksanaan ujian nasional (UN) selama ini dipersoalkan karena hasilnya dipakai untuk memveto kelulusan siswa. Selama standarisasi nasional pendidikan belum tercapai, penggunaan hasil ujian nasional sebagai syarat kelulusan menyalahi aturan yang berlaku.

Demikian disampaikan Dedy S “Miing” Gumelar, anggota Frasksi PDI Perjuangan Komisi X DPR RI di Jakarta, Jumat (8/1/2010) sore. Karena itu, penilaian kelulusan siswa dari sekolah diminta mempertimbangkan semua aspek dan jangan saling memveto atau menjatuhkan.

Miing mengatakan Fraksi PDI Perjuangan belum dapat menerima rencana pemerintah yang akan melaksanakan UN Tahun 2010 tanpa perubahan mendasar dalam kebijakan UN. “Terutama jika tetap menjadikan UN sebagai penentu kelulusan,” tegas Miing.

Puti Guntur Soekarno Putra dan Utut Adianto, dari Komisi X Fraksi PDI Perjuangan mendesak pemerintah melaksanakan putusan MA. Fraksi PDI Perjuangan akan memohon Fatwa Mahkamah Agung untuk memberikan penegasan apakah pemerintah telah melaksanakan amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan UN. |

Kompas, 8 Januari 2010


Kamis, 07 Januari 2010

Info Pendidikan

Prof Yohanes Surya :
Problem Akut Sistem Pembelajaran di Indonesia
Metode Tepat, Anak Kita Hebat-Hebat


"Wemi, 17 + 5 berapa?" Pertanyaan ini saya ajukan kepada seorang siswa kelas V di suatu sekolah dasar di Kabupaten Tolikara, Papua. Wemi menggambar 17 garis-garis kecil dan 5 garis-garis kecil. Kemudian dia menghitung banyaknya garis itu satu per satu hingga dia dapatkan hasil 22.

Wemi termasuk salah satu anak yang cukup baik. Anak yang lain bahkan tidak bisa menghitung penjumlahan sama sekali, apalagi perkalian dan pembagian.

Saya sempat bertanya kepada kepala sekolah, kenapa anak-anak bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah menjawab, "Kualitas guru di sini sangat rendah dan muridnya memang tidak berbakat matematika."

"Lalu apa kriteria anak ini naik kelas?" tanya saya lebih lanjut. "Tidak ada! Semua anak dinaikkan. Kalau tidak naik kelas, orang tua akan datang bawa parang dan tombak," lanjutnya. Orang tua di sana merindukan anak-anaknya pintar. Itu sebabnya, mereka menyuruh anaknya bersekolah. Jika anak mereka tidak lulus, mereka anggap sekolah tidak mengajar dengan baik. Wajar saja kalau mereka menuntut kenaikan kelas dengan parang dan tombak.

Selama 2008/2009, saya dengan tim dari Surya Institute berkeliling ke kota-kota dan kabupaten di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Kami melatih ratusan, bahkan ribuan, guru IPA dan matematika. Selama pelatihan ini kami menemukan bahwa faktor utama siswa sulit belajar matematika dan IPA ini adalah metode pembelajaran yang kurang tepat dan kualitas guru, bukan keadaan/potensi siswa.

Potensi Siswa

Secara rata-rata, kemampuan siswa Indonesia dalam belajar matematika atau IPA (fisika) sangat baik. Anak-anak Indonesia tidak bodoh. Kalau mereka mendapat kesempatan, mereka akan berprestasi luar biasa.

Sekitar pertengahan 2009 kami membawa 5 anak dari Kabupaten Tolikara dan 5 anak dari Wamena ke Surya Institute di Tangerang. Tolikara dan Wamena adalah daerah pegunungan di Papua yang selama ini dianggap sangat terbelakang. Di Surya Institute para siswa ini dilatih matematika Gasing (Gampang, asyik, dan menyenangkan) 4 jam per hari. Selama pelatihan kami melihat bahwa sesungguhnya siswa-siswa ini sangat cerdas matematika, berlawanan dengan anggapan selama ini yang menganggap mereka bodoh. Siswa ini juga punya keinginan kuat untuk maju. Mereka ingin sepintar anak-anak lain dari Pulau Jawa. Mereka juga sangat rajin belajar.

Fakta itu mengingatkan saya sekitar 15 tahun lalu, waktu saya pulang dari Amerika Serikat. Kala itu teman saya bertanya, mengapa mau pulang ke Indonesia? Bukankah sudah enak kerja di pusat fisika nuklir Amerika Serikat. Ketika saya jawab bahwa saya pulang karena ingin menjadikan Indonesia juara dunia dalam olimpiade fisika, teman saya ini tertawa. Dia bilang Indonesia tidak akan bisa jadi juara, anaknya bodoh-bodoh dan malas-malas. Ternyata 5 tahun kemudian, setelah saya menemukan metode yang tepat, anak-anak Indonesia mulai bermunculan menjadi juara dalam berbagai lomba tingkat dunia.

Hal itu semakin meyakinkan saya bahwa kalau kita bisa menemukan metode yang tepat dan guru yang hebat, anak-anak kita akan menjadi luar biasa.

Kualitas Guru

Selama melatih ribuan guru IPA dan matematika di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, kami menemukan perbedaan kualitas yang cukup mencolok antara guru-guru di kota besar dan daerah-daerah, terutama daerah tertinggal.

Guru di kota besar, terutama dari sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik kualitasnya. Mereka punya kesempatan dan fasilitas yang baik untuk mengembangkan diri. Sebagian dari mereka sudah menggunakan komputer dalam proses pembelajarannya. Bahkan, ada yang mampu membuat perangkat-perangkat lunak pembelajaran. Mereka hanya kesulitan ketika harus melatih siswa ke tingkat olimpiade. Mereka butuh pelatihan khusus untuk olimpiade ini.

Untuk guru-guru di daerah, keinginan majunya sangat kuat. Mereka sadar bahwa mereka kurang. Mereka ingin memperbaiki diri. Seorang peserta dari Aceh yang kami latih selama 1 bulan di Jakarta mengatakan, "Selama 20 tahun saya mengajar, belum pernah kami mendapatkan pelatihan seperti ini. Di sini walaupun kami belajar dari pagi hingga malam hari, kami sangat menikmati. Kami baru sadar bahwa ternyata kami ini sangat kurang.''

Guru dari daerah lain mengaku bahwa selama ini dia mengajar sangat monoton. Dia telah membuat pelajaran IPA yang begitu asyik dan menyenangkan menjadi mata pelajaran yang membosankan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini dia tidak mendapatkan metode yang tepat. Akhirnya yang terjadi adalah siswa bosan dan mengganggap IPA atau fisika itu sulit.

Masih banyak kisah guru yang mengaku bahwa mereka selama ini belum mengajar secara Gasing. Mereka bingung karena selama ini belum banyak mendapat pelatihan yang baik.

Jadi, sebenarnya guru-guru yang ada di Indonesia adalah guru yang baik. Mereka punya hati, mereka punya keinginan maju. Tetapi, mereka butuh bantuan, dukungan, dan kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.

What's Next?

Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, seluruh stakeholder pendidikan, termasuk pemerintah dan masyarakat, perlu bahu-membahu dalam meningkatkan kualitas guru. Yang dimaksud kualitas di sini termasuk kemampuan menguasai konten (guru IPA harus mengerti konsep-konsep IPA secara benar dan guru matematika mengerti dan mampu mengerjakan soal-soal matematika dengan benar) dan juga metode pembelajaran yang Gasing.

Untuk guru-guru di kota besar, diperlukan sekali pelatihan intensif sampai level olimpiade sehingga siswa-siswa terbaik kita dapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuan sampai ke level olimpiade.

Untuk guru-guru di daerah, terutama di daerah terpencil, perlu ada pelatihan khusus yang cukup lama (tidak hanya pelatihan sporadis yang hanya 1-2 hari). Pelatihan 6 bulan hingga 1 tahun ini akan membantu guru-guru ini meng-update konten yang dimiliki dan memperbaiki metode pembelajaran. Kita berharap ke depan kemampuan guru-guru di daerah ini mampu menyamai kemampuan guru-guru di kota-kota besar.

Memang untuk pelatihan yang lama ini butuh dana cukup besar. Tetapi, dengan dana 20 persen yang dicanangkan pemerintah untuk pendidikan, hal ini tidaklah sulit dilaksanakan. Saya percaya jika semua stakeholder pendidikan bekerja bahu-membahu meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat secara luar biasa.

Jawa Pos, 7 Januari 2010

Info Banjarnegara

Penyusunan RPJMDes Tak Boleh Hanya Meniru


Kegiatan program PNPM Mandiri Pedesaan yang tersusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk tahun 2010, tidak boleh hanya meniru usulan kegiatan desa lainnya.
Kecenderungan yang terjadi selama ini, kebanyakan desa hanya meniru RPJMDes desa tetangganya.

Hal itu tidak aspiratif. Akibatnya, kebutuhan desa yang seharusnya datang dari usulan masyarakatnya justru tidak tertampung dalam RPJMDes.

Fasilitator Kabupaten, PNPM - Mandiri Pedesaaan, Priyo Tri Hudoyo, mengatakan dokumen RPJMDes merupakan wadah kepentingan bersama seluruh masyarakat desa. Berdasarkan dokumen tersebut, pembangunan desa dapat diawali dengan baik.

“Sebab itu, RPJMDes harus sesuai dengan usulan warga. Setelah disepakati, dokumen itu akan menjadi instruksi pembangunan ke depan. Partisipasi warga itu akan menepis usulan di luar perencanaan. Itu tidak boleh terjadi,” ungkap Priyo.

Partisipasi

Ia
menjelaskan, partisipasi masyarakat itu harus ada. “Kalau semua usulan tertuang di dalam RPJMDes, otomatis semua kegiatan terdanai,” imbuhnya dalam acara pelatihan yang diikuti peserta dari 177 Desa dari 13 Kecamatan baru-baru ini.

Dalam pelatihan tersebut, tiga meteri penting disampaikan, salah satunya mengenai RPJMDes. Dua materi lainnya adalah kebijakan dan pengaturan program PNPM, dan kelembagaan BKAD.

Kepala Bagian Pemerintahan Desa Azis Ahmad menyampaikan dalam pelatihan tersebut bahwa partisipasi masyarakat sangat menentukan pelaksanaan pembangunan desa. Lima prinsip pembangunan partisipatif tersebut adalah keterpaduan, desentralisasi, bottom up - top down, efisiensi, dan keberlanjutan.

“Proses perencanaan partisipatif harus dipahami. Hal itu demi implementasi perencanaan pembangunan yang tepat. Maka harus ada integrasi antara pemerintah, masyarakat, dan konsultan,” katanya.

Menurutnya, tiga pilar tersebut harus memiliki visi dan misi yang sejalan. Dari masyarakat, usulan harus benar-benar mewakili kebutuhan pembangunan ke depan. Sebab itu, usulan yang tertampung tidak bisa hanya muncul dari pihak-pihak tertentu saja. “Semua harus partisipatif,” imbuhnya.


Suara Merdeka, 3 Januari 2010

Rabu, 06 Januari 2010

Politik

PERPPU JPSK
PDI-P Tolak Surat dari Presiden


Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat menduga ada manipulasi data dalam surat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua DPR pada 11 Desember 2009. Karena itu, F-PDIP meminta Presiden memperbaiki surat tersebut.

Surat itu perihal penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Anggota F-PDIP DPR, Panda Nababan, Selasa (5/1) di Jakarta, menuturkan, manipulasi diduga terjadi karena dalam penjelasan RUU tentang Pencabutan Perppu JPSK itu disebutkan, DPR tidak menyetujui peraturan itu dalam sidang paripurna pada 30 September 2009.

”Padahal, DPR tak menyetujui perppu itu dalam sidang paripurna 18 Desember 2008 sehingga berlaku Pasal 22 Ayat 3 UUD 1945, jika tak disetujui, peraturan itu harus dicabut,” ujar Panda. Dia menambahkan, terkait sikap ini, Ketua DPR pada 24 Desember 2008 meminta kepada Presiden untuk mengajukan RUU tentang JPSK.

Pada 30 September 2009, ada Sidang Paripurna DPR. Namun, saat itu hanya membacakan surat Komisi XI tentang pembatalan pembicaraan tingkat II RUU tentang JPSK. Sidang tak membahas Perppu No 4/2008.

”Kami sedih kenapa pemerintah membuat kesalahan seperti ini? Ada apa di balik ini? Sebab, sekarang DPR sedang membahas kasus Bank Century,” tanyanya.

Akbar Faisal dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat menduga kesalahan itu adalah kesengajaan untuk mengurangi dampak dari kasus Bank Century. Sebab, dalam audit investigasinya, Badan Pemeriksa Keuangan menyimpulkan, pencairan penyertaan modal sementara senilai Rp 2,886 triliun setelah 18 Desember 2008 atau saat DPR tak menyetujui Perppu No 4/2008 tak memiliki dasar.

Kompas, 6 Januari 2010