Rabu, 30 Juni 2010

Info Olahraga

SEA GAMES XXVI/2011
Tim Gabungan Pantau Kesiapan Arena SEAG


Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, Selasa (29/6), mengatakan, tim pemantau akan memastikan kesiapan arena-arena pertandingan atau venues untuk SEA Games XXVI 2011 pada minggu ini. Tim tersebut merupakan gabungan dari Komite Olahraga Nasional Indonesia, pengurus besar olahraga, dan pemerintah provinsi.

”Tim gabungan itu turun di empat provinsi yang menjadi tempat penyelenggaraan SEA Games 2011. Rabu (30/6) ini tim turun ke Jakarta, Bandung, kemudian ke Jawa Tengah dan Sumatera Selatan,” ujar Wafid.

Menurut Wafid, tim gabungan tersebut turun ke empat provinsi itu untuk merespons pernyataan provinsi tuan rumah SEA Games XXVI sekaligus memastikan kesiapan tempat seperti yang diungkapkan pada rapat konsolidasi panitia penyelenggara SEA Games 2011 minggu lalu.

Pada rapat itu perwakilan keempat provinsi tersebut memastikan bahwa tempat-tempat pertandingan yang akan dipakai bertanding cabang-cabang olahraga yang sudah ditentukan sudah siap. ”Waktu itu perwakilan provinsi menyatakan beberapa hal. Ada tempat pertandingan yang siap dipergunakan dan hanya membutuhkan renovasi di beberapa hal. Juga ada tempat pertandingan yang baru siap 60-70 persen,” tutur Wafid.

Sementara, ujar Wafid, pemerintah menginginkan seluruh tempat pertandingan bagi 44 cabang olahraga yang dipertandingkan di SEA Games 2011 harus siap 100 persen.

Renovasi

Seperti diberitakan Kompas (23/6), tempat-tempat pertandingan untuk SEA Games XXVI ditargetkan siap pada Juni 2011. Ketua Pengembangan Olahraga Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Djoko Pramono saat itu mengatakan, dari empat provinsi penyelenggara, tiga di antaranya melakukan renovasi tempat-tempat pertandingan, sedangkan satu provinsi membangun baru tempat-tempat pertandingan, selain merenovasi.

”Kami akan memastikan pengerjaan renovasi tempat-tempat pertandingan, demikian juga pembangunannya,” ujar Wafid.

Wafid menyatakan, selain menurunkan tim pemantau, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) juga menunggu usulan dukungan pendanaan daerah untuk membantu membiayai renovasi ataupun penyiapan arena pertandingan. Diharapkan usulan dukungan dari empat provinsi tuan rumah SEA Games XXVI sudah diterima Kemenpora minggu ini.

Usulan dukungan anggaran daerah itu perlu dan sudah dibicarakan dalam rapat dengar pendapat di Komisi X DPR. ”Usulan dukungan dari daerah dipastikan akan mengurangi anggaran SEA Games 2011, yang saat ini dihitung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sebesar Rp 3 trilun,” ujar Wafid.

Selain itu, kata Wafid, Kemenpora juga meminta dukungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata serta Kementerian Pekerjaan Umum untuk mendukung penyelenggaraan ajang olahraga dua tahunan tersebut.

Kompas, 30 Juni 2010

Info Pendidikan

Amandemen UU Sisdiknas
Visi Pendidikan Harus Diperkuat



Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus segera direvisi karena beberapa pasalnya dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi lain, undang-undang tersebut juga tidak sesuai dengan semangat mencerdaskan bangsa.

Demikian salah satu pokok persoalan yang mengemuka dalam Seminar Nasional Redinamisasi dan Revitalisasi Penyelenggaraan Pendidikan Swasta Pasca-Pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Seminar tersebut berlangsung di Jakarta, Selasa (29/6), dan diselenggarakan Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Asosiasi BP PTSI).

Ketua Umum Asosiasi BP PTSI Thomas Suyatno mengatakan, pasal-pasal yang harus diamandemen, antara lain, yang menyangkut soal pembiayaan pendidikan, tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan, dan soal akreditasi pendidikan.

”Dalam soal pembiayaan pendidikan dasar, misalnya, harusnya pemerintah lebih berperan besar,” kata Thomas Suyatno.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam seminar tersebut mengatakan, masyarakat silakan mengadukan ke Mahkamah Konstitusi jika ada peraturan perundangan-undangan apa pun yang dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Tidak ”legowo”

Dalam seminar tersebut juga terungkap, pemerintah terkesan tidak legowo atau berlapang dada dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Hal itu, antara lain, terkesan dengan disusunnya rancangan atau draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Perppu tersebut hingga kini tidak dibahas karena mengandung beberapa kelemahan. Selain itu, rancangan Perppu yang sudah bocor ke masyarakat juga dikhawatirkan bakal menimbulkan banyak penolakan. Pemerintah kemudian menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Thomas mengatakan, BP PTSI pada prinsipnya akan menolak jika penyelenggaraan pendidikan diseragamkan. ”Biarkan pendidikan berkembang sesuai dengan potensi dan kondisi masyarakat,” kata Thomas Suyatno.

BP PTSI juga akan menolak perundang-undangan pendidikan yang etatisme atau semuanya serba negara, serta peraturan yang menghilangkan sejarah keberadaan yayasan.

”Perguruan Taman Siswa, Muhamaddiyah, dan penyelenggaraan pendidikan lainnya yang berupaya mencerdaskan bangsa sudah ada sebelum Indonesia Merdeka. Semestinya, keberadaan mereka dihargai,” kata Thomas Suyatno.

Visi pendidikan

Mantan Menteri Pendidikan Nasional Daoed Joesoef mengatakan, perlu visi pendidikan yang jelas untuk membangun bangsa ini. Saat ini terkesan pemerintah tidak mempunyai visi pendidikan dan lebih parah lagi mengidentikkan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) sehingga terjadi berbagai kerancuan kebijakan.

Praktisi pendidikan Dharmaningtyas mengatakan, setelah dibatalkannya UU BHP, pemerintah merasa seperti wayang kehilangan penopang atau wayang kelangan gapite. Karena semula UU BHP itu diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat untuk melakukan privatisasi pendidikan, terutama bagi Perguraun Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).

Selain itu, UU BHP juga menjadi landasan pelepasan tanggung jawab pendanaan pada sekolah-sekolah, terutama sekolah dan perguruan tinggi swasta.

”Barangkali karena keinginan untuk tetap menghidupkan roh UU BHP itulah yang membuat pemerintah terus berupaya mencari legitimasi demi tersusunnya perundang-undangan baru sebagai pengganti UU BHP,” ujarnya.

Kompas, 30 Juni 2010

Selasa, 29 Juni 2010

Info Olahraga

POLITIK OLAHRAGA
Presiden Ghana Memotivasi Para Pemain


Presiden Ghana John Atta Millis ternyata langsung menemui dan memberikan dukungan langsung kepada para pemain sebelum mereka menundukkan kesebelasan Amerika Serikat.

Seperti telah diketahui, Ghana, Sabtu (26/6) lalu di Stadion Royal Bafokeng, Rustenburg, Afrika Selatan, mampu mengalahkan tim Paman Sam dalam babak kedua, dengan skor 2-1 (1-1).

Dengan hasil tersebut, untuk pertama kalinya Ghana mampu menembus babak perempat final Piala Dunia.

Ghana juga menjadi satu-satunya tim dari Benua Afrika, yang mampu lolos ke babak kedua. Piala Dunia kali ini juga merupakan yang pertama yang digelar di ”Benua Hitam”.

Turunnya Presiden Ghana untuk langsung memberikan semangat kepada John Mensah dan kawan-kawannya tersebut, sebelum mereka bertarung melawan tim Amerika Serikat, sangat berharga.

”Millis, saat itu, langsung masuk ke kamar ganti dan berbicara kepada para pemain berikut tim pelatih Ghana,” ungkap Fred Pappoe yang merupakan Wakil Presiden Asosiasi Sepak Bola Ghana kepada kantor berita Reuters.

”Setelah menyampaikan pesan-pesannya, Millis juga memimpin kami untuk berdoa bersama. Jelas kehadiran Presiden di ruang ganti tersebut membuat semuanya jauh lebih berarti, baik bagi pemain maupun untuk tim secara keseluruhan,” kata Pappoe yang mendampingi tim dengan arsitek Milovan Rajevac dari Serbia itu.

”Kami juga terus berdoa sebelum pertandingan tersebut. Mulai dari hotel hingga di dalam bus, saat menuju ke stadion. Bahkan ketika kami berada di pit, sebelum dan setelah pertandingan berakhir,” kata Pappoe.

”Doa itu terus kami panjatkan, tanpa peduli apa pun hasil pertandingannya nanti,” lanjutnya.

Dukungan moral

Selain doa tersebut, menurut Pappoe, dengan kehadiran Presiden mereka di Stadion Royal Bafokeng, yang duduk bersama Presiden FIFA Sepp Blatter di tribune kehormatan, juga mempunyai arti tersendiri. Kami merasa bangga ditonton langsung Presiden dari tribune VIP.

Setelah berhasil lolos ke babak perempat final, para pemain Ghana sekarang juga merasa telah menjadi wakil dari Benua Afrika.

”Tentu ini sangat berarti, sekaligus menjadi tekanan tersendiri bagi tim kami. Sekalipun, kami sudah sepakat bahwa anak-anak tetap harus mampu memberikan permainan terbaik mereka,” katanya.

Pada babak perempat final nanti Ghana bakal berhadapan dengan kesebelasan Uruguay. Tim asuhan Oscar Tabarez lolos setelah mengalahkan Korea Selatan 2-1.

Info Olahraga

ANALISIS
Invasi Pemain Asing Ikut Andil atas Jebloknya Prestasi Tim Inggris


Seusai menandatangani kontrak dengan Manchester City, bek asal Kroasia, Vedran Corluka, berkata bahwa ia sangat bangga. ”Setiap anak di Kroasia bermimpi bermain di Liga Primer dan mimpi saya menjadi kenyataan. Saya datang ke tim yang sangat besar, Manchester City,” kata Corluka.

Benarkah demikian? Benarkah setiap anak di negara-negara seperti Kroasia, Brasil, Argentina, Perancis, Spanyol, Kamerun, Nigeria, dan Pantai Gading memang bangga dan bermimpi ingin bermain di Anfield, Old Trafford, atau Stamford Bridge?

Jawaban sejujurnya, takutnya, seperti apa yang diberikan oleh seorang penjahat terkenal Amerika Serikat, Willie Sutton. Saat ia ditanya mengapa ia merampok bank, Willie menjawab: ”Karena di situlah uang berada.”

Liga Primer Inggris, seperti yang telah dikenal saat ini, disebut sebagai kompetisi terbaik di dunia. Ini adalah kompetisi yang paling banyak menghasilkan uang dan sejumlah klub terkaya dunia berasal dari Inggris.

Siapa tak kenal Manchester United, Chelsea, Arsenal, atau Liverpool? Pendapatan semusim klub-klub Liga Inggris itu pada musim 2008/2009 saja mencapai 1,981 miliar poundsterling (sekitar Rp 26,2 triliun).

Namun, dengan kompetisi yang begitu rapi, prestasi klub yang mengilap, duit yang melimpah, mengapa tim nasional Inggris hancur lebur saat tampil di turnamen besar? Mengapa tim ”Three Lions” dipermalukan di Afrika Selatan?

Di luar masalah tekanan, mental, faktor keberuntungan, kelelahan pemain karena ketatnya jadwal kompetisi, dan kesalahan taktik, salah satu penyebab yang sering disebut adalah dominasi pemain asing di Liga Primer.

Pemain asing berlomba-lomba ke Liga Inggris karena iming- iming ketenaran dan gaji tinggi. Michael Ballack bergaji lebih dari 100.000 poundsterling (Rp 1,3 miliar) per pekan. Bahkan, Lucas Neill, ya Lucas Neill asal Australia, pernah digaji hingga 70.000 poundsterling (hampir Rp 1 miliar) per pekan.

Pemain-pemain asing, seperti Corluka, kini menguasai lebih dari 50 persen starter di klub-klub ternama Inggris. Bahkan, Arsenal yang diasuh pelatih asal Perancis, Arsene Wenger, sering menurunkan tim tanpa satu pemain Inggris pun pada sebuah laga.

Direktur Pengembangan Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) Sir Trevor Brooking menuding serbuan pemain asing ke Liga Primer menjadi penyebab suramnya persepakbolaan Inggris. Pemain impor dituduh menyebabkan minimnya talenta pada sejumlah posisi kunci di tim nasional Inggris.

”Tim nasional dalam ancaman, fakta menunjukkan hal itu. Saya kira Anda tak bisa meremehkannya, ini harus jadi keprihatinan bersama,” kata Brooking, seperti dikutip BBC.

Berdasar riset BBC tahun 2007, saat Liga Primer pertama kali dimulai tahun 1992, sebanyak 76 persen pemain yang menjadi starter pada pekan pertama kompetisi berasal dari Inggris. Setelah 15 tahun, hanya 37 persen pemain Inggris yang menjadi starter.

Pada tahun 1992 hanya sekitar 10 persen (23 pemain) berasal dari luar Inggris Raya. Sementara pada 2007 meningkat hingga 56 persen (123 pemain). Brooking, yang juga mantan pemain tim nasional Inggris, menambahkan, membanjirnya pemain asing membuat bakat muda lokal jarang tampil di tim utama. Dampak lanjutnya adalah Inggris kesulitan untuk berbuat banyak pada turnamen besar karena keterbatasan bakat.

Hal itu tidak terbantu dengan kebijakan klub-klub Inggris yang terus membelanjakan uang untuk pembelian pemain. Berdasarkan laporan lembaga keuangan Deloitte, belanja klub Inggris untuk pemain asing terus melonjak. Tahun 2007, klub Inggris membelanjakan sekitar 531 juta pound (sekitar Rp 10 triliun), lebih dari setengah dinikmati klub-klub non-Inggris.

”Apakah dengan semua pembelian itu pemain muda usia 17 hingga 21 tahun akan mendapat kesempatan bermain?” tanya Brooking.

Permasalahan kian besar karena klub-klub papan atas, seperti MU dan Arsenal, mengisi akademi mereka dengan pemain-pemain muda dari seluruh penjuru dunia, bukan mengutamakan pembinaan pemain muda Inggris. Kewajiban untuk mengembangkan pemain muda berganti menjadi keinginan instan untuk berinvestasi pada produk asing yang hampir atau sudah jadi.

Ada fakta menarik sebenarnya mengenai kesuksesan klub-klub Inggris dengan mengandalkan pemain asing. Seperti disebutkan Mail Online, selama 15 tahun sebelum era Premiership, saat pemain Inggris masih merajai, klub Inggris merebut Piala Champions, kini Liga Champions, enam kali. Namun, dalam 20 tahun era Premiership yang didominasi pemain asing, Inggris hanya berhasil memenangi Liga Champions tiga kali.

Masalah yang hampir sama dihadapi Italia. Selepas kekalahan dari Slowakia yang membuat mereka tersingkir dari Afrika Selatan, kapten ”Azzurri”, Fabio Cannavaro, menyebut persepakbolaan Italia saat ini gagal memproduksi pemain-pemain sekaliber generasi tahun 2006.

”Saya pikir tidak ada banyak perubahan yang bisa kita lakukan. Saat ini, Italia tidak menghasilkan pemain seperti generasi saya saat kami memiliki banyak pemain hebat,” kata Cannavaro dikutip Reuters. ”Ini tidak hanya masalah tim nasional. Ini juga masalah klub. Kami memiliki pemain bagus, tetapi bukan pemain top.”

Sejak lama Italia diserbu pemain asing dan Cannavaro mengeluhkan hal itu menyebabkan mandeknya pembinaan oleh klub, terutama klub-klub papan atas, seperti Inter Milan, AC Milan, dan Juventus. Inter memang merebut treble musim lalu, tetapi tidak ada pemain pilarnya yang berkebangsaan Italia.

Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) Giancarlo Abete sepakat dengan Cannavaro dan percaya ada ”krisis struktural” di Italia. ”Banyak pemain Italia tidak berada dalam level internasional,” kata Abete menyesalkan fakta hanya ada 42 persen pemain Italia di Serie A. ”Uni Eropa dan UEFA harus menyadari apa problemnya karena jika kita gagal mengembangkan olahraga ini lebih baik, risiko tidak hanya satu atau dua federasi saja, tetapi seluruh Eropa.”

Info Pendidikan

Warga Takut ke Sekolah Favorit
Pemaksaan Dikhawatirkan Membuat Siswa Minder


Meskipun memperoleh prioritas, pelajar pemegang kartu menuju sejahtera tidak berminat mendaftar ke sekolah-sekolah favorit. Mereka umumnya khawatir tak mampu mengikuti proses pembelajaran lantaran tingginya kesenjangan ekonomi di antara murid.

Orangtua pendaftar penerimaan peserta didik baru kuota kartu menuju sejahtera (KMS), Murti Andri (36), mengaku takut mendaftar di sekolah favorit.

"Saya takut tidak bisa memberi fasilitas pendidikan untuk anak saya. Di sana, semuanya sudah bawa laptop dan handphone mahal yang tak mungkin bisa saya beli. Kalau dipaksakan, saya khawatir anak saya malah minder dan malas sekolah," ujarnya, Senin (28/6) di SMP Negeri 15 Yogyakarta.

Karena itu, meskipun nilai memenuhi syarat, Murti memilih tak memasukkan anaknya ke sekolah favorit. Pedagang soto dengan pemasukan Rp 15.000-Rp 20.000 per hari itu memilih memasukkan anaknya ke SMPN 15 meskipun jumlah pendaftar melebihi kuota.

Seperti mengonfirmasi ketakutan Murti, hari pertama pendaftaran PPDB kuota KMS, sekolah-sekolah yang dianggap favorit justru sepi peminat. Data sistem real time online menunjukkan, jumlah pelajar KMS yang mendaftar di sekolah-sekolah yang dianggap favorit kurang dari lima orang. Di SMPN 5 Yogyakarta, jumlah pendaftar hanya dua orang dari jumlah kuota KMS 26 kursi. Di SMPN 8 Yogyakarta, pendaftar empat orang dari jumlah kuota yang sama.

Adapun peminat di sejumlah SMP yang kurang difavoritkan justru melebihi daya tampung. Minat tertinggi terdapat di SMPN 15 Yogyakarta dengan jumlah mencapai 114 orang dari kuota KMS 100 kursi, diikuti SMPN 16 Yogyakarta dengan pendaftar mencapai 76 orang dari kuota KMS 64 kursi.

Hal sama terjadi di tingkat SMA/SMK. Di SMAN 3 Yogyakarta belum satu pun pelajar KMS mendaftar. Para pelajar KMS lebih banyak mendaftar di SMK dengan pertimbangan dapat langsung bekerja. "Tak mungkin saya dapat membiayai anak saya kuliah," kata Puji Suwarni (48).

Kurangi kuota

Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Budi Asrori mengatakan, pola ini juga terjadi tahun 2009. Karena itu, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta berupaya mengadakan perbaikan dengan mengurangi kuota KMS SMA dari 10 persen menjadi 5 persen serta menambah kuota KMS SMK dari 20 persen menjadi 25 persen pada tahun ini. Jumlah kuota tiap SMP dan SMA disesuaikan dengan keterserapan KMS tahun 2009.

"Kalau tahun lalu hanya sedikit yang daftar, tahun ini kuota dikurangi. Sebaliknya, kalau tahun lalu banyak pelajar KMS yang daftar, kuotanya ditambah. Kami harap nantinya ditemukan proporsi yang pas," tuturnya.

Menurut Budi, hasil evaluasi menunjukkan, sejumlah pelajar KMS tak naik kelas atau tertinggal mengikuti pelajaran. Akan tetapi, hal ini dianggap sebagai bagian proses perubahan kultur belajar pada masyarakat tak mampu.

Selama ini, pelajar tak mampu cenderung mempunyai prestasi kurang karena minimnya fasilitas belajar dan banyaknya waktu tersita untuk membantu perekonomian keluarga.

Kompas, 29 Juni 2010


Info Olahraga

BULU TANGKIS
Sistem Pembinaan Pelatnas Harus Diubah


Menanggapi kegagalan Indonesia merebut gelar pada Djarum Indonesia Open Super Series 2010, mantan pelatih pelatnas 1974-1999, Atik Jauhari, menyatakan, sebaiknya pelatnas mengubah sistem pembinaan. PB PBSI harus bisa mengoptimalkan kerja pemain dan pelatih.

”Indonesia sebetulnya tidak kekurangan pemain berbakat. Tinggal bagaimana kerja keras pemain dan pelatih saja,” ujar Atik, setelah pertandingan final Djarum Indonesia Open Super Series 2010, Minggu (27/6).

Menurut Atik, salah satu sistem yang harus diubah adalah sistem kepelatihan dan pembinaan. Selama ini ia melihat di pelatnas waktu antara aktivitas dan latihan kurang diatur. Sebaiknya setiap pemain tidak dibebankan untuk latihan setiap hari. Namun, latihan bisa diatur setiap menjelang kejuaraan.

”Semakin lama sebuah kejuaraan akan berlangsung, latihan untuk persiapan di training camp juga harus lebih lama. ”Untuk itu, setiap pemain dan pelatih harus bekerja keras,” ujar Atik yang kini melatih di India.

Selain itu, ia melihat perbandingan jumlah atlet dan pelatih sebaiknya ideal. Itu karena seorang pelatih harus mengenal betul si atlet dan pola penguasaan permainan si atlet. Antara atlet yang satu dan yang lain memiliki karakter yang berbeda, selain itu keterampilan penguasaan teknik bermain juga berbeda.

”Idealnya, satu pelatih menangani empat atlet. Itu membuat pelatih tahu atlet-atletnya dan memahami kemampuan pemainnya,” ujarnya.

Untuk Indonesia, ujar Atik, PB PBSI sebetulnya diuntungkan dengan banyaknya materi pemain dari klub ataupun dari pusat pendidikan dan latihan (pusdiklat). PBSI tinggal memantau pemain yang berkualitas, kemudian dikelola dan ditangani dalam kepelatihan PBSI. PBSI sebaiknya memiliki tim pemantau yang mengikuti atlet-atlet yang dinilai berbakat. ”Untuk penggalian atlet sudah bisa, tinggal pengelolaan materi yang harus ditingkatkan,” ujar Atik.

Sementara itu, pemain tunggal putra Indonesia, Taufik Hidayat, menyatakan prihatin terhadap kualitas pebulu tangkis Indonesia. Menurut Taufik, PBSI perlu melakukan evaluasi menyeluruh baik pada para atlet maupun pelatihnya.

”Sekarang tak ada gelar yang mampu diraih atlet-atlet bulu tangkis kita. Selama ini turnamen serta pertandingan selalu dibiarkan begitu saja. Tak ada evaluasi apa pun terkait pelaksanaan tanding di perebutan Piala Thomas dan Uber lalu,” ungkapnya.

Ia menambahkan, jika tak ada evaluasi, tak akan muncul atlet-atlet muda baru berbakat.

Kompas, 29 Juni 2010

Jumat, 25 Juni 2010

Info Olahraga

KARATE
Meniti Tangga Asian Games



Perolehan medali tim karate Indonesia di kejuaraan internasional Korea Terbuka di Busan, Korea Selatan, 18-20 Juni, boleh jadi melebihi target. Namun, tim yang dipersiapkan untuk Asian Games itu masih harus meniti tangga untuk menjadi yang terbaik di Asia.

Turun di 10 nomor pada kejuaraan karate Korea Terbuka, karateka Indonesia meraih 2 emas, 3 perak, dan 2 perunggu, lebih dari yang ditargetkan, satu emas. Dua emas diperoleh di nomor kumite (pertarungan) perseorangan putri -68 kg oleh Yolanda Asmuruf dan putra -67 kg oleh Jintar Simanjuntak.

Tiga perak didapat dari nomor -60 kg putra (Donny Dharmawan), -61 kg putri (Tantri Widya Sari), dan kumite beregu putri (Yolanda, Tantri, dan Telly Melinda). Sementara dua perunggu dari nomor kata perorangan putri (Dewi Yulianti) dan kelas bebas putri (Yolanda Asmuruf).

Kecuali di kelas bebas putri, enam nomor yang meraih medali di Korea Terbuka adalah sebagian dari delapan nomor yang dibidik Indonesia dalam kejuaraan multicabang Asian Games di China November 2010. Dua nomor lain yang dibidik adalah kumite putra +84 kg dan kata perorangan putra. Faizal Zaenudin yang dipersiapkan untuk kata putra gagal di Korea Terbuka. Sementara Umar Syarief (+84 kg) tidak berangkat karena masih dalam proses pemulihan dari cedera.

Menurut Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (PB FORKI) Djafar Djantang, raihan Indonesia di Korea Terbuka terbilang baik. Karateka menunjukkan peningkatan berarti ketimbang saat pertama bergabung ke Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Asian Games Februari lalu.

Akan tetapi, atlet harus lebih matang untuk tampil di Asian Games. Mereka juga perlu mewaspadai sebagian karateka dari negara pesaing yang tidak tampil di Korea Terbuka seperti Iran, Vietnam, dan Malaysia.

”Dari segi teknik, kecepatan, dan kekuatan, atlet-atlet kita mampu bersaing atau lebih unggul dari lawan. Namun, mental dan naluri bertanding perlu terus diasah agar lebih matang,” tambah Djafar.

Kondisi itu tecermin dari kegagalan Donny dan Tantri di final. Keduanya tampil kurang lepas di bawah tekanan penonton yang mendukung karateka tuan rumah. Donny kalah 1-2 dari Lee Ji-hwan dan Tantri kalah 4-8 dari Choi Cho-long.

Selain Jintar dan Telly, karateka Indonesia lain di nomor kumite tampil kurang stabil. Yolanda, misalnya, mampu bermain apik dan menjuarai nomor -68 kg pada hari pertama. Namun, dalam keikutsertaannya di kelas bebas, dia beberapa kali ”kecolongan” pukulan dan tendangan lawan. Beberapa kali mampu menekuk lawan dengan skor telak di penyisihan dan babak kedua, dia justru dikalahkan karateka tuan rumah, Jung So-young, 0-6, di partai semifinal kelas bebas.

Stabil

Penampilan yang relatif stabil ditunjukkan Telly yang turun di nomor -50 kg dan kumite beregu putri. Di nomor beregu, dia bahkan menyumbang angka kemenangan bagi Indonesia atas Hongkong di penyisihan (menang angka 13-10) dan Vietnam pada babak kedua (8-6).

Sementara Jintar meraih angka telak pada lima laga di nomor -67 kg putra sebelum akhirnya meraih emas. Setelah mengalahkan Kim Won-seok (Korea Selatan) 8-0 di penyisihan, dia memukul Yuen Siu Lun (Hongkong) 3-0 di babak kedua, Lee Chung Ho (Hongkong) 5-0, Kim Do-wan (Korea Selatan) 3-2, dan Roland Lagman Jr (Filipina) 4-1 di partai final.

Terlepas dari faktor wasit yang dinilai kurang obyektif, jadwal pertandingan yang berubah- ubah, dan faktor nonteknis lain, Indonesia perlu mewaspadai beberapa karateka Korea Selatan dan Hongkong.

Menurut Djafar, sejak dilatih oleh beberapa pelatih dari Iran, perkembangan karate kedua negara dinilai pesat. Di kelas berat (di atas 67 kg), Korea Selatan dan Hongkong bahkan mampu bersaing dengan Iran, sebagai salah satu negara dengan prestasi lima besar Asia selain Jepang, China, dan Vietnam.

Jalan menuju Asian Games masih terbentang empat bulan. Tim Indonesia masih memiliki waktu untuk mematangkan diri. Menurut Ketua Umum PB Forki Hendardji Soepandji, meski tampil baik di Korea Terbuka, para atlet tak boleh berpuas diri. Mereka harus menempa diri melalui latihan, uji coba, dan meniti tangga menuju performa terbaik. ”Ibaratnya, dari sepuluh tangga yang harus dilalui, sekarang baru tercapai 3-5 tangga,” ujarnya

MUKHAMAD KURNIAWAN

Kompas, 25 Juni 2010

Kamis, 24 Juni 2010

Info Olahraga

POLITIK OLAHRAGA
Piala Dunia Obat Penawar Rasial di Afsel


Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma, Selasa (22/6), menegaskan bahwa Piala Dunia telah menjadi obat penawar rasialis yang ada di negaranya.

”Afrika Selatan tidak pernah memperoleh dan melalui pengalaman ketika semua anak bangsa bisa bergembira dan bersorak bersama-sama sejak masa Presiden Nelson Mandela yang keluar dari tahanan politik pada tahun 1990 lalu,” kata Zuma dalam salah satu pidatonya di Johannesburg.

”Kami harus jujur dengan kesuksesan yang didapat dari semangat Piala Dunia yang diperoleh negeri ini,” ujarnya.

Itu karena, baru pertama kali, kata Zuma, setelah 16 tahun kemerdekaan dan demokrasi, ”Kita bisa melihat saudara-saudara kita yang berkulit hitam dan saudara-saudara kita yang berkulit putih bisa menyatu padu untuk merayakan dan mendukung tim mereka dalam stadion.”

Tim nasional Afrika Selatan, ”Bafana Bafana”, kemarin, harus bertarung menghadapi tim ”Ayam Jago” Perancis. Tentu laga tersebut menjadi penentu keikutsertaan Afrika Selatan ke babak lanjutan Piala Dunia.

Kalaupun Bafana Bafana tidak mampu melanjutkan perjalanan ke babak berikutnya, Zuma berharap masyarakat Afrika Selatan tetap fokus pada suksesnya pelaksanaan Piala Dunia hingga ke babak final, 10 Juli mendatang.

”Sebab, kita tidak hanya akan melihat Piala Dunia ini tanpa kehadiran tim Bafana Bafana. Namun, kita juga harus mampu mengambil keuntungan yang ada hingga pelaksanaan Piala Dunia ini berakhir,” kata Zuma.

Setelah dua minggu Piala Dunia berlangsung, ”Kita belum bisa berbangga hati untuk menyatakan semuanya akan berlangsung sesuai dengan rencana. Namun, kita juga harus lebih memerhatikan berbagai perangkat kebutuhan pelaksanaan kejuaraan akbar ini,” lanjut Zuma.

Jadi, pinta Zuma, ”Selain mendukung Bafana Bafana, kita semua harus sadar dengan tanggung jawab besar kita sebagai tuan rumah Piala Dunia ini.”

Menolak

Serikat pekerja terbesar Afrika Selatan pada hari yang sama juga menegaskan penolakan mereka terhadap penawaran upah yang akan diberikan Eskom, yang merupakan perusahaan negara penyedia listrik.

Para pekerja yang tergabung dalam Serikat Pekerja Tambang (NUM) itu menegaskan bakal melakukan aksi yang bisa menghentikan Piala Dunia apabila kehendak mereka tidak dipenuhi.

Juru bicara NUM, Lesiba Seshoka, yang menaungi sekitar 32.000 pekerja itu menegaskan bahwa mereka akan memberi waktu kepada Eskom hingga hari Kamis (25/6) nanti.

”Kami berharap Eskom mau memberi kenaikan gaji hingga 8 persen dari apa yang telah mereka berikan selama ini,” kata Seshoka.

NUM memang tidak akan mengganggu pasokan listrik ke stadion pelaksana Piala Dunia yang dilayani dengan diesel. Namun, jika permintaan tidak dipenuhi Eskom, anggota NUM akan menghentikan penyaluran listrik ke kota.

Tentu hal tersebut bisa mengakibatkan marahnya masyarakat yang menyaksikan siaran langsung. Satu hal yang lebih merasakan dampaknya tentu dunia ekonomi.

Kompas, 24 Juni 2010

Info Olahraga

Karma dalam Sepak Bola


Perhaps it was la karma or whatever the French is for gypsy curse, but the team which cheated us out of making it to South Africa will return home today in almost complete humiliation. Harian ”Irish Independent”, Rabu, 23 Juni 2010

Kita paham ketika bangsa Irlandia merasa dikibuli oleh Thierry Henry, kemarahan mereka hanya menunggu waktu untuk mendentum dengan keras. Maka, ketika kesebelasan ”Ayam Jantan” Perancis menggelepar di Afrika Selatan, ungkapan kemarahan Irlandia bergema seperti litani di hampir semua harian terkemuka di negeri itu. Seperti yang ditulis di halaman depan Irish Independent di atas.

Tujuh bulan lalu, Henry, kapten Perancis yang berada di senja kala kariernya, melakukan dua kali handball sebelum mengirim umpan kepada William Gallas yang kemudian membobol gawang Irlandia. Gol Gallas itu mengakhiri mimpi Irlandia tampil di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan dan, sebaliknya, mengantarkan Perancis, juara dunia 1998, ke putaran final pertama di Benua Afrika. Henry secara jantan mengakui ia handball, tetapi merasa tak bersalah karena wasit tak melihat, dan dalam sepak bola hal semacam itu sah!

Namun, apa yang sah di lapangan bola memang sering berseberangan dengan perasaan, terutama rasa keadilan. Wasit asal Swedia, Martin Hansson, boleh mendapat sanksi dari FIFA, Henry boleh dimaki Rakyat Irlandia, tetapi hasil tak beranjak, Perancis-lah yang lolos ke Afrika Selatan. Bangsa Irlandia terkoyak hatinya, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menunggu hari penghakiman yang akhirnya terjadi di Stadion Free State, Bloemfontein, saat Perancis dipermalukan tuan rumah 2-1. Sebelumnya, runner-up Piala Dunia 2006 ini juga dipermalukan Meksiko 0-2 dan ditahan Uruguay tanpa gol.

Namun, bukan semata rontoknya Henry cs yang membuat bangsa Perancis malu tak terperi. Pemberontakan pemain, yang dimotori Nicolas Anelka dan kapten Patrice Evra-lah yang membuat Perancis tampak kerdil di antara mereka yang tampil di Afrika Selatan. Lepas dari buruknya kepemimpinan Pelatih Raymond Domenech, pemberontakan Evra cs yang membuat Perancis terkapar memang ibarat karma yang harus mereka tanggung.

Terlalu rumit untuk mengkaji hukum sebab akibat dalam kasus rontoknya Perancis di putaran pertama Afsel 2010. Apalagi jika membawa-bawa kajian teologis seperti saat kalangan agama memperdebatkan ”Gol Tangan Tuhan” Diego Maradona ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986. Namun, yang pasti, fakta tak dapat disangkal, Perancis tak berdaya setelah Henry mengibuli Irlandia untuk lolos secara ”sah” ke Afrika Selatan.

Di sisi lain, rumit pula menjelaskan mengapa Italia yang jauh lebih penuh tipu daya ketimbang Perancis sukses menjuarai Piala Dunia 2006 dengan mengelabui Australia dan mengerjai Zinedine Zidane. Siapa yang bisa menjelaskan mengapa tim ”Azzurri” yang sedang ditimpa malapetaka dengan terbongkarnya kasus suap dan jual beli hasil pertandingan di Liga Serie A—kemudian populer dengan sebutan calciopoli—justru tampil solid untuk menjadi juara keempat kalinya di Jerman 2006? Apakah Fabio Grosso yang menyakiti hati Australia dan Marco Materazzi yang menyakiti perasaan Zidane tak mendapat karmanya yang setimpal?

Jika mau sok berfilosofi, barangkali justru calciopoli-lah yang membuat Italia menjadi juara dunia di tanah Jerman empat tahun lalu. Tak diragukan lagi, keberanian Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) membongkar judi dan suap yang ibarat sudah mendarah daging di sepak bola Italia itulah diberi imbalan yang setimpal dengan gelar juara dunia. Bagaimanapun, FIGC telah memberi contoh nyata penegakan fairplay, kejujuran dan sportivitas dalam olahraga meskipun harga yang semula harus dibayar teramat mahal. Skandal calciopoli menelan korban klub-klub ternama, seperti Juventus yang kehilangan gelar juara serta AC Milan, Lazio, Fiorentina, dan Reggina.

FIGC tak peduli meski Juventus dan AC Milan, misalnya, dipunyai oleh orang-orang kuat dan kaya raya Italia. Ketika hukum harus ditegakkan, FIGC bertindak sebagai Dewi Keadilan yang matanya tertutup dan pedangnya menebas leher Juventus ke jurang degradasi.

Seluruh bangsa Italia malu atas skandal ini, tetapi di satu sisi mereka pun bangga atas keberanian FIGC memberantas mafia sepak bola yang merajalela karena ditopang oleh sistem yang korup. Sistem yang melibatkan manajer, wasit, dan perangkat pertandingan tersebut ditebas habis oleh FIGC, yang melalui penyidiknya, Stefano Palazzi, bertindak tanpa belas kasih terhadap para bandit sepak bola.

Maka, boleh jadi, kelakuan buruk Grosso dan Materazzi masih terampunkan oleh tugas suci yang telah dijalankan FIGC memberantas ketidakjujuran dan korupsi di tubuh sepak bola Italia.

Berkaca pada Perancis yang sedang menjalani karmanya atau Italia 2006 yang mendapat berkah, apakah sepak bola Indonesia sedang menjalani karmanya yang pahit?

Sangat boleh jadi. Tanpa perlu menerjemahkan betapa tak bermutunya pengelolaan sepak bola Indonesia di tangan PSSI, wajah kita di pergaulan internasional tak kalah memalukan ketimbang hancurnya Perancis di Afsel 2010. Klub-klub ”terbaik” hasil kompetisi PSSI hanya jadi lumbung gol saat tampil di pentas Asia. Timnas Indonesia makin terpuruk, bahkan kalah dari negara kecil yang terletak di ”tengah hutan” Asia Tenggara, Laos.

Perancis besok pagi mungkin sudah bangkit dan dua tahun lagi menjadi juara Eropa, sedangkan Indonesia terus menjalani karmanya yang pahit selama PSSI tak pernah menyadari kegagalannya.

Anton Sanjoyo

Kompas, 24 Juni 2010

Info Olahraga

SEA GAMES
Dibutuhkan Rp 3 Triliun


Pemerintah memperkirakan kebutuhan dana penyelenggaraan pesta olahraga Asia Tenggara atau SEA Games mencapai sekitar Rp 3 triliun. ”Alokasi anggaran tahun depan (2011) Rp 1,1 triliun, tetapi kebutuhannya sekitar Rp 3 triliun. Jadi, kurang Rp 2 triliun, ini masih bergerak terus (usulannya),” kata Wakil Menteri PPN/Kepala Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo di Jakarta, Rabu (23/6).

Menurut dia, alokasi dana sebesar itu akan digunakan paling banyak untuk perbaikan sarana dan prasarana pertandingan agar sesuai dengan standar internasional. ”Pertandingannya kan tidak hanya di Jakarta, disediakan dana untuk perbaikan sarana dan prasarana agar sesuai dengan standar internasional. Itu dananya paling besar,” katanya.

Selain itu, anggaran Rp 3 triliun juga digunakan untuk pembinaan dan persiapan atlet cabang olahraga andalan Indonesia agar bisa meningkatkan posisi Indonesia. ”Sebagai tuan rumah, posisi kita harus lebih baik. Targetnya, Indonesia setidaknya menduduki peringkat ketiga (dalam perolehan medali), tetapi kalau bisa, juara umum lebih bagus,” katanya kepada Antara.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menyediakan anggaran persiapan tuan rumah SEA Games dalam APBD Perubahan tahun 2010 sebesar Rp 114 miliar. Anggaran dana yang disediakan itu untuk merenovasi fasilitas olahraga yang sudah dimiliki daerahnya.

Namun, menurut Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, pembangunan fasilitas olahraga yang baru tidak menggunakan dana APBD.

Ia menyebutkan, anggaran dana yang disediakan untuk SEA Games itu Rp 114 miliar, tetapi dengan bantuan pihak ketiga menjadi sekitar Rp 70 miliar.

Kompas, 24 Juni 2010

Rabu, 23 Juni 2010

Kebudayaan

KARYA ILMIAH
Kontribusi Peneliti Indonesia Minim


Kontribusi para peneliti Indonesia pada pengembangan ilmu secara internasional masih rendah. Hal ini, antara lain, disebabkan minimnya karya ilmiah peneliti Indonesia pada jurnal-jurnal internasional.

Sebagai perbandingan, artikel ilmiah yang disumbangkan ilmuwan Singapura sekitar 10.000 artikel per tahun, Thailand 5.500, dan Malaysia 3.500. ”Adapun Indonesia belum mencapai 1.000 artikel per tahun,” kata Prof Mien A Rifa’i dari anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dari Pusat Penelitian Nasional Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Seminar Hak Cipta dan Penerbitan Jurnal di Jakarta, Selasa (22/6).

Ia mengatakan, situasi jurnal ilmiah di Indonesia banyak kelemahan, antara lain tirasnya sangat rendah, hanya sekitar 300 eksemplar, tidak dilanggani perpustakaan utama, tidak dijadikan acuan mahasiswa, hanya menggunakan bahasa Indonesia, dan tidak dikelola profesional.

Prof Riris K Toha Sarumpaet, Guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, mengatakan, etika dalam penelitian serta pengutipan karya ilmiah di kalangan akademisi masih lemah. Padahal, kejujuran dan etika dalam dunia akademis merupakan hal yang utama.

Kompas, 23 Juni 2010

Info Pendidikan

Banyaknya "Waktu Kosong" Rugikan Siswa
Kalender Pendidikan Kacau karena UN Dipercepat


Kalender pendidikan belajar-mengajar sekolah sebaiknya disusun ulang karena banyak ”waktu kosong” atau tak efektif bagi siswa, terutama siswa kelas IX dan XII. Waktu tak efektif terutama antara pelaksanaan ujian nasional dan pengumumannya yang terlalu lama.

Begitu pula antara ujian nasional (UN) ulangan dan pengumumannya serta jarak dengan pendaftaran siswa/mahasiswa baru terlalu lama. Waktu tak efektif tersebut hampir dua bulan sehingga kurang baik bagi siswa.

Sejumlah guru di berbagai daerah, Senin (21/6), mengatakan, menjelang pelaksanaan UN, siswa disibukkan dengan latihan-latihan soal sejak bulan Februari-Maret. Materi pelajaran semester genap pun dipadatkan sehingga materi detail tak bisa disampaikan. Sebaliknya, setelah UN, justru banyak waktu kosong siswa.

Kepala SMP Negeri 4 Bogor Hasanuddin mengatakan, waktu tidak efektif siswa tahun ini lebih panjang karena jadwal UN dimajukan untuk mengakomodasi UN ulangan. Jika jadwal UN tidak dimajukan, waktu kosong siswa hanya 2-3 minggu.

”Selain UN dipercepat, UN ulangan juga tidak ada di dalam kalender pendidikan. Sekolah memang jadi agak repot karena materi semester genap harus selesai lebih cepat,” ujarnya.

Fadiloes Bahar dari Serikat Guru Kota Tangerang mengatakan, baik siswa maupun sekolah kerap menganggap, jika UN berakhir, berarti berakhir pula proses belajar-mengajar. Padahal, siswa masih harus menjalani ujian sekolah.

”Ujian sekolah menjadi nomor dua. Itu sebabnya banyak siswa yang nilai ujian nasionalnya lebih tinggi daripada nilai ujian sekolah,” kata Fadiloes.

Evaluasi kembali

Fadiloes khawatir, kalender kegiatan belajar-mengajar yang kacau akan kembali terjadi pada tahun ajaran mendatang. Untuk itu, ia meminta pemerintah agar mengkaji secara cermat kalender pendidikan untuk tahun mendatang.

Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Suparman menyatakan, banyaknya waktu tak efektif kurang bagus bagi siswa. Karena itu, ia mengusulkan agar setelah UN proses belajar tetap berlanjut dengan penekanan pada pembelajaran karakter.

”UN mereduksi atau mempersempit pembelajaran siswa karena siswa hanya disiapkan untuk menghadapi UN, tidak untuk belajar,” ujarnya.

Ahli evaluasi pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Said Hamid Hasan, mengusulkan, perlu ada mekanisme atau pengaturan jadwal ujian, pengumuman, dan proses seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya yang lebih jelas dan teratur. ”Perlu ada pemikiran tentang kualitas pendidikan yang lebih jelas,” ujarnya.

Kompas, 22 Juni 2010

Senin, 21 Juni 2010

Info Pendidikan

Sebagian Besar Dana untuk Fisik
RSBI Tidak Meningkatkan Mutu


Sebagian besar anggaran dari pemerintah dan orangtua pada proyek Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional hanya digunakan untuk pengembangan sarana prasarana fisik. Dengan demikian, peningkatan mutu pendidikan pada RSBI tidak sesuai dengan harapan.

Dari temuan studi awal proyek RSBI oleh Koalisi Pendidikan dan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diungkapkan Minggu (20/6), didapati bahwa mayoritas sekolah RSBI hanya mengandalkan sarana fisik, seperti mesin pendingin ruangan atau internet. Kondisi dan kesiapan guru masih buruk, terutama dalam penggunaan bahasa Inggris pada proses belajar-mengajar.

Lody Paat dari Koalisi Pendidikan mengingatkan, banyak RSBI tak sesuai dengan namanya karena penggunaan bahasa Inggris pun masih minim. Dari hasil diskusi dengan guru terungkap, banyak guru tidak bisa berbahasa Inggris dan kesulitan dalam menjelaskan materi pelajaran dalam bahasa itu. ”Peningkatan mutu pendidikan tak harus melalui RSBI, apalagi jika implementasinya kacau seperti ini,” ujarnya.

Lody menambahkan, RSBI justru mengundang perdebatan karena jika dilihat dari nilai-nilainya, RSBI mengutamakan kompetisi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah yang seharusnya membantu sekolah meningkatkan mutu pendidikan justru mendorong setiap sekolah untuk bersaing satu sama lain. Padahal, dari nilai-nilai Pancasila tidak disebutkan kata-kata persaingan, yang ada yaitu nilai-nilai kerja sama dan kebersamaan. ”Seolah-olah sekolah harus bersaing untuk meningkatkan mutu pendidikan. Apa tidak ada cara lain,” ujarnya.

Privatisasi

Untuk itu, menurut Ade Irawan dari Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, pihak ICW mendesak pemerintah menghapus RSBI karena mendorong kastanisasi dan antidemokrasi. RSBI justru mendorong konsep privatisasi pendidikan semata-mata karena anggaran minim dari pemerintah.

”Untuk menjawab masalah anggaran, pemerintah justru dorong privatisasi pendidikan melalui RSBI,” ujarnya.

ICW mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit penggunaan dana RSBI karena pengelolaan yang amatir. Pasalnya, tidak ada proses evaluasi dan pengawasan kualitas pembelajaran. ”Tak ada upaya mengawal anggaran sehingga kerap ditemukan indikasi korupsi,” ujarnya.

Kompas, 21 Juni 2010

Selasa, 15 Juni 2010

Info Pendidikan

AKSES PENDIDIKAN
Program Pendidikan Bisa Hambat Pencapaian MDGs


Pemerintah belum dapat memberdayakan kelompok usia rentan yang nonproduktif, yaitu anak dan manusia usia lanjut. Padahal, terus meningkatnya populasi mereka dapat menjadi beban ekonomi yang kian besar bagi kelompok usia produktif. Dalam hal ini yang diperlukan adalah akses pendidikan yang seluas-luasnya kepada anak-anak. Sedangkan bagi kaum lanjut usia, yang terutama diperlukan adalah akses pelayanan kesehatan.

Hal ini disampaikan dalam pidato inaugurasi Mayling Oey Gardiner, pakar ekonomi dan demografi sebagai anggota Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Senin (14/6). Mayling merupakan anggota ke-6 dari 10 anggota baru di AIPI. Hadir pada inaugurasi itu Ketua AIPI Sangkot Marzuki dan Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI Taufik Abdullah.

Mayling, guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mengungkapkan, melihat rendahnya angka partisipasi murni (APM) anak hingga usia 15 tahun untuk mendapatkan pendidikan, maka masih jauh dapat mencapai target millennium development goals (MDGs). Salah satu target MDGs menyebutkan, semua anak harus mendapat pendidikan dasar. Namun, tingkat partisipasi anak dalam pendidikan dasar 9 tahun hanya 7 hingga 8 persen.

Hingga kini belum ada kebijakan yang membuka akses pendidikan bagi semua anak usia 13-15 tahun, terutama anak miskin dan anak di pedesaan yang jauh dari SLTP.

Anak miskin yang tinggal jauh dari fasilitas pendidikan sukar mendapat kesempatan bersekolah setelah menyelesaikan SD. ”Pemerintah lebih suka memberikan subsidi bagi sekolah internasional untuk anak dari keluarga berada. Adapun anak miskin terabaikan. Hal ini menunjukkan ketimpangan struktural yang dipelihara oleh pemerintah,” ujarnya.

Kompas, 15 Juni 2010

Info Pendidilkan

Kebijakan Pendidikan Bawa "Suara Partai"


Berbagai rancangan dan implementasi kebijakan pendidikan oleh Kementerian Pendidikan Nasional kerap mengalami kegagalan. Hal ini, antara lain, disebabkan sebagian besar pengambil kebijakan di Kementerian Pendidikan Nasional bukan pelaku pendidikan yang profesional, melainkan berlatar belakang politik.

Karena berasal dari kelompok, golongan, atau partai politik tertentu, pengambil keputusan tak bisa bebas merancang dan mengimplementasikan kebijakannya karena terbebani oleh ”suara-suara” dan kepentingan partai politik.

Demikian hasil riset lembaga Nusantara Centre terhadap 27 mantan menteri pendidikan dan pejabat menteri pendidikan nasional yang dipaparkan Direktur Eksekutif Nusantara Centre M Yudhie Haryono, Senin (14/6) di Jakarta. ”Dari hasil riset kami, menteri yang bukan dari partai politik, kebijakan dan implementasinya lebih baik,” kata Yudhie.

Oleh karena itu, Nusantara Centre merekomendasikan agar ke depan pengambil kebijakan di Kementerian Pendidikan Nasional harus dijabat orang-orang profesional dan bukan dari partai politik.

Hasil riset yang dikerjakan bersama Kementerian Pendidikan Nasional selama tiga bulan itu menggunakan metode penulisan genealogi, yakni kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya. Dengan menggunakan metode ini, diharapkan akan bisa diketahui cara proses pendidikan dirancang, diimplementasikan, dan dikembangkan. Penelitian dilakukan terhadap latar belakang Ki Hajar Dewantara hingga Mohammad Nuh.

Kompas, 15 Juni 2010

Senin, 14 Juni 2010

Info Olahraga

Kesadaran Orangtua Masih Rendah


Kesadaran orangtua anak penyandang tunagrahita untuk memperkenalkan anaknya dengan kegiatan olahraga masih tergolong rendah. Dari sekitar 6,5 juta anak penyandang tunagrahita, baru sekitar 45.000 yang aktif diikutkan dalam kegiatan olahraga.

”Orangtua masih cenderung menyembunyikan anak tunagrahita karena malu. Padahal sikap itu akan membuat anak menjadi semakin tak produktif,” kata Ketua Pengurus Pusat Special Olimpics Indonesia (SOIna) dr Pudji Astuti, Minggu (13/6) di sela-sela acara pawai obor yang diikuti atlet dan duta Pekan Olahraga Nasional SOIna di Jakarta.

Padahal, kata Pudji, berolahraga secara teratur akan membuat anak menjadi lebih sehat dan bugar. Olahraga juga dapat membuat anak kian disiplin, mandiri, dan mudah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

”Dengan begitu, mereka dapat lebih percaya diri. Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh anak tunagrahita,” tutur Pudji.

Pornas

Untuk menampung minat olahraga penyandang tunagrahita, SOIna sejak beberapa tahun terakhir menggelar Pornas SOIna. Tahun ini pornas akan digelar pada 25-29 Juni di GOR Ragunan dan Britama Sportmall, Kelapa Gading, Jakarta.

Ada tujuh cabang olahraga yang dipertandingkan, yaitu bulu tangkis, tenis, tenis meja, sepak bola, basket, renang, dan boccee. Kegiatan ini akan diikuti 1.500 atlet dari 30 provinsi. ”Dari Pornas SOIna ini nantinya akan diseleksi atlet-atlet yang akan kami terjunkan ke SOI di Athena tahun 2010,” kata Pudji.

Kompas, 14 Juni 2010

Info Kebuayaan

Temuan Arkeologi di Dieng
Mengungkap Jaringan Perdagangan Abad Kesembilan


Tim peneliti dari Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menemukan puluhan pecahan kaca, keramik, dan gacuk di kawasan Candi Dieng, Jawa Tengah. Temuan itu penting untuk mengungkap hubungan perdagangan Mataram Kuno.

Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Inayah Adrisiyanti menuturkan, pecahan keramik China yang ditemukan diperkirakan berasal dari Dinasti Tang sekitar abad ke-9. Adapun pecahan kaca berwarna khas biru dan hijau diperkirakan dari Persia.

”Temuan itu sangat penting, karena menunjukkan ada kehidupan di luar ritus upacara di kawasan Dieng,” kata Inayah, Sabtu (12/6).

Kawasan Candi Dieng, yang terletak pada ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut dan berada di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, dikenal sebagai kawasan religius. Sesuai namanya, Dieng (”di” berarti gunung atau tempat, dan ”hyang” berarti dewa), di kawasan itu terdapat beberapa candi Hindu. Nama candi sesuai dengan tokoh wayang Purwa dalam Mahabarata, seperti Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Semar, dan Candi Gatotkaca.

Tiga titik

Mahirta, dosen dan Ketua tim penelitian di kawasan percandian Dieng, mengatakan, proses ekskavasi temuan dilakukan di tiga titik, yaitu di sekitar tangga masuk Museum Dieng Kailasa, daerah sumur tua, dan bangunan Darmasala bagian barat.

Setelah dilakukan penggalian tanah dengan kedalaman 50–175 sentimeter, di tiga lokasi itu ditemukan pecahan keramik, gacuk (tiruan mata uang yang dipakai dalam upacara keagamaan), dan pecahan kaca.

Melihat karakteristiknya, lanjut Mahirta, pecahan keramik dan gacuk diduga berasal dari Dinasti Tang yang berkuasa di China bagian utara pada abad ke-9. ”Keramik sejenis ditemukan pada kapal yang karam di sekitar perairan Belitung,” kata Mahirta. Adapun pecahan kaca, dari warna dan karakteristiknya, diduga berasal dari Persia.

Penemuan tersebut, lanjut Mahirta, sangat penting karena memperkuat dugaan Mataram Kuno sudah menjalin perdagangan secara internasional yang melibatkan kawasan Timur Tengah dan China. Barang yang diperdagangkan, bahkan, masuk ke pedalaman, seperti dataran tinggi Dieng.

Arkeolog dari National University of Singapore, John Norman Miksic, mengatakan, selama ini peninggalan prasasti di Indonesia lebih banyak bercerita tentang agama dan pemerintahan. Aktivitas perdagangan sangat jarang disinggung sehingga data mengenai hal itu sangat minim. Padahal, aktivitas perdagangan internasional bisa jadi memiliki pengaruh besar bagi perkembangan kerajaan. ”Temuan ini memberikan data yang paling lengkap tentang luasnya jangkauan perdagangan saat itu,” kata kata Miksic.

Kompas, 14 Juni 2010